Kairo (ANTARA) - Sekelompok pengungsi dan ekspatriat Afrika dari Sudan, Sudan Selatan, dan negara-negara lain berkumpul di sebuah akademi olahraga di Kairo untuk menyaksikan pertandingan sepak bola yang penuh semangat. Mereka disemangati oleh kerumunan penonton yang suportif, menemukan penghiburan dan keamanan di Mesir setelah melarikan diri dari konflik di tanah air mereka.

Di tengah kehangatan dan keramahan yang diberikan oleh warga Mesir, mereka tetap mendambakan perdamaian dan kesempatan untuk pulang ke rumah, sebuah sentimen yang dirasakan bersama pada Hari Pengungsi Sedunia, yang diperingati setiap tahun pada 20 Juni.

Kamal Mahmoud, seorang warga Sudan yang tinggal di Kairo sekaligus seorang pelatih di akademi tersebut, mendapati dirinya terdampar di Mesir saat konflik di Sudan pecah pada April lalu.

Sebelum konflik, Mahmoud bersama keluarganya sering berkunjung ke Mesir, negara tetangga Sudan, tetapi mereka tidak pernah membayangkan harus menetap untuk waktu yang lama.

Keluarga Mahmoud kini bergantung pada pendapatannya sebagai pelatih, bayaran bimbingan belajar yang diterima oleh istrinya, dan bantuan tidak menentu dari teman-temannya di luar negeri.

"Saya berharap perdamaian akan terwujud di seluruh dunia, tidak hanya di Sudan, tetapi juga di Palestina dan di tempat-tempat lain," ungkap Mahmoud.
 
 Kamal Mahmoud (tengah), warga Sudan yang bekerja sebagai pelatih sepak bola, duduk bersama anak-anak pengungsi saat pertandingan sepak bola di akademi olahraga di Kairo, Mesir, pada 18 Juni 2024. (ANTARA/Xinhua/Ahmed Gomaa)


Sejak serangan mematikan Israel ke Jalur Gaza Palestina yang dimulai pada awal Oktober tahun lalu, Mesir telah menerima puluhan ribu warga Palestina yang mengungsi untuk mencari tempat aman.

Salah satu di antara pengungsi Palestina tersebut adalah Ahmed Khamis Hasaballah (30), seorang jurnalis foto yang melarikan diri dari Gaza dua bulan lalu akibat serangan Israel.

"Di mana pun di Gaza, kapan saja, setiap saat, kami para jurnalis bisa menjadi berita karena ditargetkan secara langsung oleh pasukan Israel," ungkap pria asal Gaza itu kepada Xinhua, seraya menambahkan bahwa hampir 140 jurnalis tewas dan banyak yang terluka dalam serangan Israel ke Gaza, mengutip perhitungan pihak Palestina.

Keluarga Hasaballah memiliki delapan anggota sebelum ayahnya tewas dalam perang Israel di Gaza. Kini dia berada di Mesir, sementara ibu dan saudara-saudaranya masih berada di Gaza.

"Saya berada di sini sekarang, tetapi pikiran saya masih berada di Gaza karena sudah berbulan-bulan tidak bertemu dengan keluarga saya, dan saya tidak tahu kabar mereka sama sekali," kata jurnalis foto asal Palestina itu kepada Xinhua.

Hasaballah memuji rakyat Mesir yang telah merangkul warga Palestina dan memperlakukan mereka "seperti keluarga," serta berharap perang akan berhenti dan dia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya di Gaza.

"Kami meminta kepada seluruh dunia hari ini sebagai pengungsi agar perang sengit di Gaza dihentikan, dan kami berharap semua pengungsi dapat kembali ke tanah air mereka," ujar Hasaballah.
 
  Anak-anak pengungsi terlihat saat pertandingan sepak bola di akademi olahraga di Kairo, Mesir, pada 18 Juni 2024. (ANTARA/Xinhua/Ahmed Gomaa)


Sementara itu, badan pengungsi PBB, UNHCR, mengatakan dalam sebuah laporan belum lama ini bahwa Mesir kini menampung lebih dari 600.000 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar dari 62 negara.

Beberapa ahli Mesir meyakini bahwa meski para pengungsi disambut di Mesir, keberadaan mereka perlu diatur. Mesir harus menerima dana dari PBB untuk menutupi biaya penampungan dan penyediaan layanan bagi mereka, karena negara ini sedang mengalami tekanan ekonomi.

"Para pengungsi adalah tamu kami, dan kami tidak akan memperlakukan mereka secara tidak adil atau menolak mereka, tetapi kondisi mereka harus tetap diatur, dan prosesnya harus diatur karena kami juga memiliki masalah," ungkap Sawsan Fayed, seorang sosiolog Mesir sekaligus profesor psikologi politik di Pusat Penelitian Sosial dan Kriminologi Nasional Mesir.

"Para pengungsi merupakan tanggung jawab rezim-rezim yang gagal menstabilkan negaranya," ujar Fayed kepada Xinhua, dan menyalahkan Amerika Serikat yang telah melakukan "penindasan internasional" terkait implementasi atau tidak diimplementasikannya resolusi-resolusi pro-perdamaian dari PBB. 

 

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024