Beijing (ANTARA) - Investigasi Reuters baru-baru ini menemukan bahwa militer Amerika Serikat (AS) meluncurkan kampanye disinformasi rahasia untuk mendiskreditkan vaksin China di Filipina, negara yang terkena dampak parah oleh COVID-19.

Temuan ini memicu kecaman luas dari kalangan ahli kesehatan masyarakat terhadap skema AS. Sejumlah mantan pejabat intelijen AS bahkan turut mengecam kampanye disinformasi tersebut.

Vaksin Sinovac buatan China, satu-satunya jenis yang tersedia di Filipina selama puncak pandemi COVID-19, berulang kali tercoreng oleh program Pentagon itu.

Reuters melaporkan bahwa pihaknya mengidentifikasi setidaknya 300 akun di platform media sosial X, yang sebelumnya bernama Twitter, yang cocok dengan deskripsi yang dibagikan oleh mantan pejabat militer AS yang mengetahui tentang operasi di Filipina itu.

Hampir seluruh akun tersebut dibuat pada musim panas 2020 dan berfokus pada slogan #Chinaangvirus, yang berarti "China adalah virus" dalam bahasa Tagalog, bahasa utama di Filipina.

"Kami tidak melihat hal ini dari perspektif kesehatan masyarakat," kata seorang perwira militer senior yang terlibat dalam program itu sebagaimana dikutip oleh Reuters. 

Akibat kampanye disinformasi tersebut, tingkat vaksinasi di Filipina masih sangat rendah. Pada Juni 2021, presiden Filipina saat itu, Rodrigo Duterte, melalui televisi mengimbau masyarakat untuk mendapatkan vaksinasi.

Pada saat itu, hanya sekitar 2,1 juta dari 114 juta penduduk Filipina yang telah menerima vaksinasi lengkap, jauh di bawah target 70 juta untuk tahun itu.

"Lebih dari 60.000 orang Filipina meninggal dunia, dan banyak dari mereka seharusnya selamat jika tidak ada kampanye disinformasi terhadap vaksin Sinovac," ujar mantan juru bicara kepresidenan Filipina, Harry Roque, di media sosialnya.

Cho-Chiong Tan, seorang dokter sekaligus associate professor di Institut Kedokteran di Far Eastern University, mengatakan bahwa laporan Reuters itu "mengejutkan seluruh Filipina."

"Fitnah itu secara serius merugikan kesehatan rakyat Filipina dan menghambat upaya Filipina untuk memerangi COVID-19," kata Tan.

Ia menambahkan bahwa ketidakpercayaan dan kepanikan seputar keamanan vaksin menyebabkan beberapa orang tidak melakukan vaksinasi, sehingga meningkatkan risiko tertular virus.

"Praktik-praktik ini tidak hanya merugikan kepentingan rakyat Filipina, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat global dan kesejahteraan seluruh umat manusia," imbuhnya.

"Saya rasa itu tidak dapat dibenarkan. Saya sangat geram, kecewa, dan menyesal mendengar hal itu," kata Daniel Lucey, seorang spesialis penyakit menular di Fakultas Kedokteran Geisel Dartmouth.


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Hanni Sofia
Copyright © ANTARA 2024