Beijing (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian menyebut ketidakpedulian Filipina menjadi penyebab penjaga pantai China menaiki dan menggeledah kapal Filipina di perairan Laut China Selatan.
"Penyebab langsung dari situasi ini adalah ketidakpedulian Filipina terhadap penolakan China dan intrusi yang disengaja ke perairan Ren'ai Jiao yang merupakan bagian dari Nansha Qundao China," kata Lin Jian dalam konferensi pers di Beijing, Rabu (19/6).
Pada Selasa (18/6), Angkatan Bersenjata Filipina mengonfirmasi bahwa seorang prajurit angkatan lautnya mengalami cedera parah setelah tabrakan berkecepatan tinggi yang disengaja oleh Penjaga Pantai China (CCG) terhadap kapal Filipina yang sedang menjalani misi pasokan ulang di perairan Laut China Selatan yang disengketakan.
Pejabat Filipina juga mengeklaim bahwa personel CCG menghantam kapal angkatan laut milik mereka serta kemudian menaikinya serta menyita senjata milik tentara mereka.
"Tindakan penegakan hukum yang diambil oleh Penjaga Pantai China di tempat kejadian bersifat profesional dan terkendali serta bertujuan menghentikan 'misi pasokan' ilegal. Penjaga Pantai China tidak mengambil tindakan langsung terhadap personel Filipina," tambah Lin Jian.
Lin Jian menyebut pihak Filipina terus mengatakan bahwa mereka mengirimkan kebutuhan sehari-hari bagi personelnya di BRP Sierra Madre, tetapi diam-diam mencoba mengirim bahan bangunan dan bahkan senjata serta amunisi ke kapal perang di Ren'ai Jiao.
"China mendesak Filipina untuk segera menghentikan pelanggaran dan provokasinya. Kami akan terus mempertahankan kedaulatan dan hak serta kepentingan kami yang sah," tegas Lin Jian.
Secara terpisah dari sumber sejumlah media, Panglima Militer Filipina Jenderal Romeo Brawner Jr mengakui bahwa mereka memiliki senjata di kapal tersebut tapi tidak menggunakannya.
Ia mengatakan bahwa tentara Filipina bertempur dengan tangan kosong untuk mencegah pasukan China menyerang mereka.
Pada Senin (17/6), personel CCG dilaporkan menyetop, menaiki, dan menggeledah sebuah kapal Filipina yang sedang dalam misi memasok ulang logistik. Tindakan itu oleh CCG dianggap sebagai perilaku masuk tanpa izin ke perairan dekat Ren'ai Jiao.
Ini adalah kali pertama sejak CCG memberlakukan aturan baru operasi mereka di Laut China Selatan. Berdasarkan pedoman baru itu, China bisa menahan tersangka pelanggar hingga 60 hari.
Undang-undang yang sudah diterbitkan sejak 2021 itu mengatur soal izin bagi penjaga pantai China yang dapat menembaki kapal asing, menghancurkan bangunan negara lain yang didirikan di atas terumbu karang yang diklaim milik China, serta hak untuk memeriksa kapal asing di perairan yang disebut kepemilikan China.
Pemerintah China mengeklaim memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas kepulauan yang disebut "Nanhai Zhudao" di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan area Tepi Macclesfield.
Pulau karang itu disebut China dengan nama "Ren'ai Jiao", sedangkan oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" merupakan bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Laut China Selatan hingga saat ini masih menjadi titik panas permasalahan di kawasan karena China mengeklaim hampir seluruh perairan di Laut China Selatan. Negara-negara anggota ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina juga mengeklaim wilayah tersebut.
Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999 dan mengirim orang untuk mengisi perbekalan di markas terapung tersebut.
Baca juga: Prajurit Filipina terluka akibat insiden terbaru dengan China di LCS
Baca juga: China menaiki dan geledah kapal Filipina yang masuk perairan sengketa
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024