Kami berharap dapat segera maju menuju tercapainya sebuah perjanjian yang akan mengakhiri pertumpahan darah."
Addis Ababa (ANTARA News) - Pemerintah Sudan Selatan dan pihak pemberontak pada Kamis menandatangani kesepakatan menyangkut gencatan senjata.
Mereka berjanji untuk menghentikan pertempuran dalam waktu 24 jam dan mengakhiri konflik berdarah, yang berlangsung selama lima minggu dan telah menewaskan ribuan orang, lapor AFP.
Perjanjian itu ditandatangani di ibukota negara Ethiopia, Addis Ababa, oleh perwakilan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir dan para pemberontak yang setia kepada wakil presiden terguling Riek Machar.
Penandatangan disambut dengan meriah oleh para mediator dan diplomat di kawasan.
Mediator-mediator dari kelompok kawasan Afrika Timur, IGAD, yang telah menjadi perantara perundingan perdamaian, mengatakan kesepakatan itu akan dilengkapi dengan verifikasi serta mekanisme pengawasan perjanjian.
Pemerintah Sudan Selatan juga setuju untuk membebaskan 11 pejabat yang dekat dengan Machar.
Para pejabat itu ditahan setelah terjadinya pertempuran antara unit-unit tentara yang bersaing pada 15 Desember lalu.
Namun, kerangka waktu bagi pembebasan mereka belum ditentukan. Status para tahanan juga telah menjadi butir utama yang menyulitkan perundingan.
"Dua kesepakatan ini merupakan bahan-bahan untuk menciptakan kondisi bagi dicapainya perdamaian menyeluruh di negara saya," kata Taban Deng, kepala delegasi pemberontak.
Ia mengatakan dirinya berharap kesepakatan itu akan "membuka jalan bagi berlangsungnya dialog politik nasional yang serius, yang ditujukan untuk mencapai perdamaian abadi di Sudah Selatan."
Sudan Selatan adalah negara terbaru di dunia yang mendapatkan kemerdekaan dari Khartoum pada tahun 2011.
Juru runding pihak pemerintah, Nhial Deng Nhial, mengatakan bahwa perundingan, yang diselenggarakan di sebuah hotel mewah di Addis Ababa selama tiga minggu, berlangsung "tidak mudah".
"Kami berharap dapat segera maju menuju tercapainya sebuah perjanjian yang akan mengakhiri pertumpahan darah," katanya.
Namun Nhial menyuarakan keraguan menyangkut kesediaan para pemberontak, yang terdiri dari unit-unit tentara yang berkhianat serta milisi etnis, untuk menghentikan operasi-operasi mereka.
"Apa yang kami khawatirkan adalah apakah perjanjian penghentian permusuhan itu akan tetap dipegang dan kemauan kelompok pemberontak... untuk menghentikan pertempuran," tambahnya. "Kami ingin mengambil kesempatan ini untuk menyeru kelompok pemberontak agar mereka mengindahkan seruan serta menghentikan ambisi untuk mendapatkan kekuasaan politik melalui kekerasan."
Para pegiat bantuan serta analis meyakini bahwa sudah sekira 10.000 orang yang kehilangan nyawa dan hampir setengah juta lainnya terpaksa mengungsi di tengah kekejian yang diduga dilakukan oleh kedua belah pihak.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengatakan pihaknya sedang menyelidiki laporan-laporan soal kekejaman dan kejahatan perang, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan massal serta pelaksanaan hukuman mati.
Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014