Semarang (ANTARA) - Patut berpikir ulang bagi sejumlah komponen bangsa yang berkeinginan mengembalikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke naskah UUD 1945 sebelum era Reformasi.
Pada era Reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia menggelar Sidang Umum (SU) MPR RI pada tanggal 14—21 Oktober 1999. Melalui sidang umum inilah kali pertama perubahan UUD 1945.
Perubahan kedua sampai keempat melalui Sidang Tahunan (ST) MPR RI, yakni perubahan kedua pada tanggal 7—18 Agustus 2000, perubahan ketiga pada tanggal 1—9 November 2001, kemudian perubahan keempat pada tanggal 1—11 Agustus 2002.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 2019—2024 yang akan berakhir sampai akhir Agustus 2024 kemungkinan kecil menggelar SU MPR RI untuk memenuhi keinginan sejumlah pihak yang bermaksud mengembalikan UUD NRI Tahun 1945 ke UUD 1945 yang berlaku pada masa Orde Baru.
Kendati demikian, MPR RI periode 2024—2029 yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) produk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 berpeluang untuk mengamendemen kembali konstitusi.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, lembaga legislatif bikameral ini memang berwewenang untuk mengubah dan menetapkan konstitusi. Namun, perlu berpikir ulang apabila akan memutuskan kembali ke naskah UUD 1945 pra-Reformasi.
Sesuai dengan jadwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, calon legislatif (caleg) terpilih pada Pemilu Anggota DPR RI dan Pemilu Anggota DPD RI akan dilantik pada tanggal 1 Oktober 2024.
Setelah menjadi wakil rakyat yang notabene anggota MPR, akan mengikuti Sidang Paripurna MPR RI dengan agenda Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2024—2029 pada tanggal 20 Oktober 2024.
Kendati MPR RI punya kewenangan untuk mengamendemen konstitusi, alangkah indahnya mencermati betul pasal demi pasal, termasuk implikasinya, apabila bermaksud kembali ke UUD 1945 sebelum Reformasi.
Dalam UUD 1945 sebelum amendemen pertama, Pasal 7 berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Jika kembali ke UUD zaman Orba, akan membuka peluang melanggengkan kekuasaan dengan dalil rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden, atau beda dengan era Orde Baru yang pemilihannya melalui MPR RI.
Seyogianya wacana ini disingkirkan jauh-jauh karena tidak sesuai dengan roh reformasi. Dengan kata lain, tetap mempertahankan frasa "hanya untuk satu kali masa jabatan" dalam Pasal 7 pada Perubahan Pertama UUD 1945.
Isi selengkapnya Pasal 7: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."
Ditegaskan pula pada Perubahan Ketiga UUD 1945 bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR (vide Pasal 7C).
Sejak pemberlakuan pasal ini, menutup peluang Presiden mengeluarkan dekret, seperti Dekret Presiden 5 Juli 1959 (era pemerintahan presiden ke-1 RI Ir. Soekarno) dan Dekret Presiden 23 Juli 2001 (era presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid).
Apabila UUD NRI Tahun 1945 kembali ke UUD 1945 sebelum Reformasi, berimplikasi pada keberadaan Komisi Yudisial (vide Pasal 24B) dan Mahkamah Konstitusi (vide 24C). Kedua lembaga negara ini dibentuk berdasarkan konstitusi. Apakah langsung dibubarkan?
Padahal, keberadaan Komisi Yudisial ini yang mengusulkan pengangkatan hakim agung. Selain itu, berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Begitu pula dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) apakah langsung ditiadakan jika kembali ke UUD 1945 pra-Reformasi? Ini juga patut berpikir jernih sebelum mengamendemen kembali UUD NRI Tahun 1945.
Hal ini mengingat konstitusi telah memberi kewenangan pada MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Selain itu, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Pada Perubahan Keempat UUD NRI Tahun 1945, Dewan Pertimbangan Agung dihapus. Akankah dihidupkan kembali jika UUD 1945 era Orde Baru diberlakukan? Sebelum bubar, dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.
Implikasi lainnya yang patut menjadi pertimbangan MPR RI sebelum memutuskan kembali ke UUD 1945 versi Orba adalah rakyat yang telah memilih 158 calon anggota DPD RI pada Pemilu 2024 di 38 provinsi.
Apakah lembaga negara ini juga akan dibubarkan, kemudian MPR terdiri atas anggota DPR dan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan? Sekali lagi patut dipertimbangkan.
Kalaupun akan mengubah UUD NRI Tahun 1945, sebaiknya amendemen sebagian dan pelaksanaannya secara bertahap. Dalam hal ini, MPR RI periode 2024—2029 perlu mencermati pasal demi pasal, plus implikasi atas amendemen itu.
Misalnya, penguatan fungsi dan kewenangan DPD RI agar makin punya "taring" dalam memperjuangkan aspirasi daerah. Fungsi legislasi lembaga tinggi negara ini, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945, sebatas mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang (RUU), tetapi tidak memberi persetujuan atas pengesahan RUU menjadi undang-undang.
Dalam Pasal 22D menyebutkan bahwa DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Sekali lagi, sebaiknya lema "dapat" dalam konstitusi itu diubah dengan kata "wajib", sehingga kewenangan DPD lebih punya "gigi" dalam memperjuangkan aspirasi rakyat di 38 provinsi se-Indonesia yang notabene daerah pemilihannya.
Dengan demikian, pembentuk undang-undang tidak hanya DPR RI dan Presiden, tetapi juga DPD RI, khususnya pembentukan undang-undang yang berkaitan erat dengan otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, serta kearifan lokal.
Copyright © ANTARA 2024