Kutai Timur (ANTARA) - Di pedalaman Kalimantan Timur, terbentang hutan tropis yang masih asri, yakni hutan Wehea. Hutan ini bukan hanya rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna yang tergolong langka, tetapi juga menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat adat Dayak Wehea dalam menjaga kelestarian alam.
Di sekitar hutan Wehea, terdapat beberapa sekolah yang telah mendapatkan edukasi tentang pelestarian hutan, termasuk sekolah-sekolah negeri, dan swasta. Mereka diajarkan untuk menghargai dan melindungi hutan yang merupakan warisan leluhur dan sumber kehidupan.
Masyarakat adat di Desa Nehas Liah Bing memiliki cara tersendiri dalam menjaga hutan. Selain edukasi, mereka juga mengadakan program-program yang menarik wisatawan untuk melihat keindahan dan keunikan hutan Wehea.
"Kami juga mengajak masyarakat dan para pemuda, agar mereka mengerti bagaimana kami menjaga hutan dan apa saja yang harus dilindungi," tutur Yuliana.
Salah satu kekayaan hutan Wehea adalah tanaman obat-obatan yang merupakan ramuan turun-temurun. Masyarakat adat telah lama menggunakan apotek hidup untuk mengobati berbagai penyakit, baik yang ada di hutan maupun di kampung.
Upaya pelestarian ini telah berjalan lama sejak 2004, karena hutan Wehea adalah hutan adat yang dijaga turun-temurun.
Asa Yuliana, jika hutan Wehea diakui sebagai hutan adat, maka pelestarian akan lebih terjamin. Masyarakat adat memiliki ritual yang tidak bisa dipisahkan dari hutan, seperti penggunaan kayu tertentu yang hanya bisa ditemukan di hutan Wehea. Ritual tersebut dirangkai dalam pesta adat Lom Plai yang digelar setahun sekali.
Hubungan antara masyarakat adat dan hutan Wehea adalah hubungan simbiosis yang tidak bisa diputus.
Hingga saat ini, hutan Wehea terbebas dari kontaminasi industri, seperti sawit, hutan tanaman industri atau eksplorasi lainnya. Keberadaan hutan ini sangat penting untuk menjaga sumber air bersih dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, patroli rutin dilakukan untuk menjaga hutan dari ancaman.
Di hutan Wehea, terdapat hewan endemik dan pohon-pohon besar yang dominan, yang menjadi simbol kekuatan dan kelestarian hutan. Harapan Yuliana dan masyarakat adat kepada pemerintah adalah agar hutan Wehea terus terjaga dan didukung sepenuhnya, baik oleh pemerintah daerah maupun pusat.
Bentang hutan Wehea
Terletak di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, Hutan Lindung Wehea bagaikan permadani hijau raksasa yang membentang seluas 38.000 hektare.
Lebih dari sekadar hamparan pepohonan yang rindang, Wehea adalah rumah bagi keanekaragaman hayati, menjadi habitat bagi 61 spesies mamalia, termasuk orang utan, 114 jenis burung, dan 59 jenis pohon bernilai ekonomi.
Keindahan dan kekayaan alamnya tak hanya memesona, tetapi juga menyimpan fungsi hidrologis penting sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS) Wehea dan Long Gi di Kabupaten Berau.
Masyarakat Adat Dayak Wehea, melalui Lembaga Adat Dayak Wehea, memainkan peran sentral dalam menjaga dan melestarikan hutan ini.
Dedikasi mereka tak sia-sia. Kepedulian Dayak Wehea terhadap Wehea diakui secara luas, terbukti dengan penghargaan Kalpataru tahun 2009. Pengakuan ini menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal Dayak Wehea dalam mengelola hutan patut diapresiasi.
Menjaga kelestarian alam Wehea berarti juga memelihara potensi besar dari kawasan tersebut. Hutan ini menjadi rumah bagi spesies langka seperti orang utan, macan dahan, lutung dahi putih, burung enggang, burung umbai, dan beruang madu. Kekayaan flora Wehea pun juga sangat beragam. Tidak kurang dari 120 jenis tumbuhan hidup di tempat ini, dan dari jumlag itu terdapat 64 tumbuhan yang memiliki nilai etnobotani (tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat) dan 59 jenis pakan orang utan.
Warisan Wehea-Kelay
Hutan Wehea merupakan bagian bentang alam Wehea-Kelay, gabungan hamparan hutan dari Kabupaten Kutai Timur dan Berau, Kaltim. Menurut buku Warisan Alam Wehea-Kelay, sebuah kajian yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Pokja Kawasan Ekonomi Esensial Wehea Kelay, kawasan ini memiliki nilai konservasi khusus dan memerlukan pengelolaan yang partisipatif dan kolaboratif.
Dengan luas mencapai 532.143 hektare, bentang alam Wehea-Kelay didominasi oleh hutan yang mencakup 87 persen dari total area, sementara sisanya merupakan area nonhutan. Kawasan ini kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk flora, fauna, dan nilai sosial budaya masyarakat setempat yang masih terjaga dengan baik.
Salah satu inisiatif penting yang telah dilakukan adalah pembentukan Forum Pengelolaan KEE Wehea-Kelay, yang diresmikan melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 660.1/K.214/2016. Forum ini bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai unit manajemen, termasuk hutan lindung, areal konsesi IUPHHK, dan perkebunan kelapa sawit, untuk memastikan pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya orang utan Kalimantan.
Komposisi vegetasi di kawasan ini mencakup setidaknya 346 spesies, dengan 53 di antaranya tergolong dalam kategori kritis, genting, dan rentan menurut IUCN Red List. Mayoritas spesies yang terancam berasal dari famili Dipterocarpaceae.
Fauna di bentang alam Wehea-Kelay juga sangat beragam, dengan dokumentasi sekitar 77 spesies mamalia, 271 spesies burung, dan 117 spesies herpetofauna. Orang utan Kalimantan subspesies morio dan macan dahan merupakan dua spesies kunci yang hidup di kawasan ini.
Populasi orangutan kalimantan di Wehea-Kelay diperkirakan berkisar antara 806 hingga 821 individu, yang mencerminkan sekitar 26 persen dari populasi orang utan di Kalimantan Timur. Mereka tersebar di seluruh unit manajemen yang tergabung dalam forum.
Ancaman kehilangan habitat orang utan semakin meningkat, menjadikan bentang alam Wehea-Kelay sebagai koridor habitat utama bagi spesies ini. Dengan adanya 227 spesies tumbuhan pakan yang telah teridentifikasi, dengan dominasi famili Euphorbiaceae dan Moraceae, kawasan ini memainkan peran penting dalam pelestarian orang utan Kalimantan.
Upaya konservasi di bentang alam Wehea-Kelay ini tidak hanya penting bagi keberlangsungan hidup orang utan Kalimantan tetapi juga bagi keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Dengan kerja sama yang erat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, harapan untuk menjaga warisan alam Kalimantan ini tetap lestari terus berkembang.
Petkuq Mehuey
Di tengah rimbunnya hutan lindung Wehea, Kalimantan Timur, terdapat sebuah komunitas yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga kelestarian alam dan budaya mereka. Yuliana Wetuq, seorang perempuan berusia 45 tahun dari Desa Nehas Liah Bing, menjadi salah satu motor penggerak komunitas ini.
Yuliana bukan hanya seorang ibu dari empat anak, dia juga merupakan koordinator kelompok penjaga Hutan Lindung Wehea, yang dikenal sebagai Petkuq Mehuey. Dalam bahasa Dayak Wehea, Petkuq Mehuey berarti kelompok penjaga hutan.
Kelompok ini terdiri atas sekelompok pemuda-pemudi yang bertugas menjaga hutan dari penebang liar, penambang liar, dan mengumpulkan data flora dan fauna.
Hutan Lindung Wehea bukan hanya rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna, tapi juga menjadi sumber kehidupan dan budaya bagi masyarakat Dayak Wehea. Hilangnya hutan berarti hilangnya tradisi dan upacara adat penting mereka.
Yuliana dan Petkuq Mehuey tidak hanya menjaga hutan, tapi juga menjaga budaya Wehea. Mereka mendampingi wisatawan yang datang dan mengenalkan budaya Dayak Wehea kepada mereka.
Yuliana menjadi salah satu dari tiga perempuan yang turut serta dalam kegiatan Petkuq Mehuey dan memegang peranan vital dalam operasional kelompok. Dia mengoordinasikan pembagian jadwal tim patroli, memastikan kebutuhan logistik terpenuhi, dan mengatur jadwal wisatawan yang berkunjung.
Dedikasi Yuliana dan Petkuq Mehuey patut dipresiasi. Mereka menunjukkan bahwa perempuan juga bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian alam dan budaya.
Yuliana berharap langkahnya dapat menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Wehea lainnya untuk terlibat dalam melestarikan adat dan alam Wehea. Dia ingin hutan ini terjaga sampai anak-cucunya nanti.
Cerita Yuliana dan Petkuq Mehuey adalah sebuah pengingat bahwa kelestarian alam dan budaya saling terkait erat. Menjaga hutan berarti menjaga budaya, dan sebaliknya. Dengan dedikasi dan semangat mereka, Yuliana dan Petkuq Mehuey menunjukkan bahwa masa depan Wehea yang sejahtera dan lestari adalah mungkin.
Kisah Wehea adalah bukti nyata bahwa kelestarian alam dapat terwujud melalui sinergi antara manusia dan alam. Kearifan lokal Dayak Wehea dalam mengelola hutan menjadi inspirasi bagi pengelolaan hutan di masa depan, menunjukkan bahwa manusia dan alam dapat hidup berdampingan secara harmonis dan saling menguntungkan.
Hutan Lindung Wehea adalah sebuah oase di tengah hiruk pikuk modernisasi, menjadi pengingat bagi semua tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam. Di balik lebatnya pepohonan, Wehea menyimpan pesan mendalam tentang tanggung jawab manusia untuk melestarikan warisan alam yang tak ternilai harganya.
Menanti pengakuan
"Kami ingin mendapat pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Agar kami dan penerus masyarakat Wehea mendapat kepastian hukum dari pemerintah," ujar Kepala Adat Suku Dayak Wehea, Ledjie Taq.
Harapan pengakuan MHA ini bukan tanpa alasan. Masyarakat Dayak Wehea yang tersebar di enam desa di Kecamatan Muara Wahau, yaitu Desa Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Leway, Dea Beq, Diaq Lay, dan Bea Nehas, merasa terancam oleh kerusakan lingkungan akibat penebangan liar dan pembukaan lahan oleh perusahaan yang mengancam hutan lindung Wehea.
Melalui pengakuan MHA, mereka berharap mendapatkan hak untuk melindungi wilayah adat mereka dan melestarikan budaya mereka.
Selain pengakuan MHA, Ledjie Taq juga menyampaikan beberapa permohonan lain, seperti insentif dan operasional untuk pengurus lembaga adat, penyediaan satu unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan bantuan pendidikan bagi generasi penerus suku Dayak Wehea.
"Kami mohon bapak Pj Gubernur dan Bupati untuk memberikan rekomendasi, memberikan perlakuan khusus kepada putra-putri kami melalui beasiswa sampai menyelesaikan pendidikannya," pintanya.
Permohonan-permohonan ini diserahkan langsung kepada Pj Gubernur Kalimantan Timur dan Bupati Kutai Timur dengan harapan agar dapat segera diwujudkan.
Asa pemangku adat, dengan adanya perhatian dari pemerintah, suara mereka dapat didengar dan diakomodasi, sehingga ke depan mereka dapat hidup dengan tenang dan sejahtera di tanah leluhur.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024