Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Gde Pradnyana menilai "cost recovery" sebesar 15 miliar dolar AS guna perhitungan RAPBN 2014 tidak optimal untuk menaikkan pendapatan negara.
"Dipatok 15 miliar dolar AS di Banggar (DPR) untuk cost recovery. Itu tidak optimal untuk menaikkan pendapatan negara. Memang harus dicari angka yang tepat supaya penerimaan negaranya juga optimal," kata Gde usai acara diskusi "Apa Kabar Kedaulatan Migas Indonesia di 2014...?" di Jakarta, Rabu.
Gde mengatakan nilai cost recovery berpengaruh pada investasi dan produksi yang menghasilkan pendapatan negara.
"Kalau cost recovery ditekan terlalu rendah, nilai investasi juga akan rendah maka produksinya juga akan kecil. Tetapi kalau investasi naik, cost recovery juga naik, maka penerimaan negara juga naik," jelasnya.
Ia menegaskan hal tersebut bukan persoalan pembatasan cost recovery tetapi sebaiknya ada pengendalian cost recovery.
"Kalau dibelanjakan di dalam negeri kan bagus untuk perekonomian," ujarnya.
Ia menambahkan investasi sektor migas harus didorong semaksimal mungkin. "Tetapi juga tidak bisa tanpa kendali," tambahnya.
Dari penetapan angka proporsi cost recovery 27 persen dari pendapatan bruto migas atau 15 miliar dolar AS, maka akan diperoleh pendapatan negara senilai 30,6 miliar dolar AS.
Sebelumnya, SKK Migas mengajukan cost recovery sebesar 16,5 miliar dolar AS. Namun ada catatan bahwa angka yang sudah ditetapkan bisa direvisi dalam pembahasan perubahan APBN 2014.
Sementara untuk produksi migas 2014, Komisi VII DPR dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyepakati produksi terjual atau lifting minyak mentah dan kondensat dalam RAPBN 2014 sebesar 870.000 barel per hari sedangkan gas 1,24 juta barel setara minyak per hari. (M047/A026)
Pewarta: Monalisa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014