Beijing (ANTARA) - Penyelidikan Komisi Eropa terhadap kendaraan listrik (electric vehicle/EV) China telah mengungkap banyak ambiguitas dalam peraturan, menurut sejumlah organisasi dan pakar bisnis, yang juga memperingatkan bahwa usulan kenaikan bea masuk dapat merugikan para penggagasnya sendiri karena hal itu akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Komisi Eropa pada Rabu (12/6) mengumumkan rencana untuk memberlakukan tarif tambahan sementara hingga 38,1 persen terhadap EV buatan China, menyusul penyelidikan antisubsidi yang diluncurkan tahun lalu.
Saat berbicara dalam konferensi pers pada Kamis (13/6), Juru Bicara Kementerian Perdagangan China He Yadong mengatakan bahwa China akan melayangkan gugatan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait rencana UE tersebut jika diperlukan.
"Terdapat kelemahan serius dalam proses penyelidikan," kata Kamar Dagang China untuk Impor dan Ekspor Mesin dan Produk Elektronik (China Chamber of Commerce for Import and Export of Machinery and Electronic Products/CCCME), sebuah kelompok industri yang mewakili lebih dari 10.000 perusahaan anggota di China.
"Penyelidikan tersebut tidak diprakarsai oleh industri-industri UE. Itu merupakan penyelidikan antisubsidi ex-officio yang diprakarsai oleh Komisi Eropa berdasarkan ancaman kerugian. Hal ini sangat jarang ditemukan dalam solusi perdagangan UE," kata CCCME.
CCCME mengkritik informasi ekstensif dan ketat yang diminta oleh Komisi Eropa, mengatakan bahwa hal itu belum pernah terjadi sebelumnya dan mengindikasikan kecenderungan UE untuk mencapai konklusi yang telah ditentukan sebelumnya.
Kamar Dagang China untuk UE (China Chamber of Commerce to the EU/CCCEU) juga menyatakan keprihatinan mendalam atas apa yang mereka anggap sebagai manipulasi politik dan proteksionisme sepihak dalam penyelidikan tersebut.
Komisi Eropa telah melampaui lingkup penyelidikan bea masuk penyeimbangnya, mengajukan permintaan yang tidak masuk akal kepada perusahaan-perusahaan, serta gagal memberikan waktu yang cukup bagi perusahaan dan pemangku kepentingan untuk merespons dan memberikan bukti, kata CCCEU.
Dalam sidang dengar pendapat yang digelar di Brussel, perusahaan-perusahaan China dan pihak terkait lainnya mengajukan serangkaian pertanyaan mengenai masalah yang timbul dari penyelidikan tersebut, tetapi komisi itu tidak memberikan respons apa pun dan mengoreksi kesalahannya, menurut CCCEU.
Sementara itu, Dewan Promosi Perdagangan Internasional China (China Council for the Promotion of International Trade/CCPIT) mengecam langkah UE sebagai "standar ganda tipikal," serta mengatakan bahwa UE sendiri telah memberikan subsidi besar bagi industri EV dan baterainya sendiri.
Para pakar memperingatkan bahwa tarif tambahan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, mengurangi profitabilitas perusahaan dan, dengan demikian, memengaruhi pertumbuhan ekonomi UE.
Zheng Chunrong, Direktur Pusat Studi Jerman Universitas Tongji, menggarisbawahi bahwa perusahaan-perusahaan Jerman pasti akan menanggung beban dari konflik perdagangan ini, karena China masih memiliki pangsa pasar global terbesar bagi produsen mobil Jerman.
Sekitar 50 persen impor kendaraan listrik UE dari China berasal dari merek-merek Barat yang memproduksi kendaraan di China, menurut sejumlah tokoh yang familier dengan isu tersebut.
"Jika UE menerapkan tarif, hal ini akan menimbulkan kerugian besar bagi Eropa sendiri," tutur Zheng.
Menurut sebuah studi simulasi yang dilakukan oleh Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia (IfW Kiel), penerapan tarif sebesar 20 persen akan memicu penurunan impor EV dari China sebesar 25 persen, yang akan berdampak terhadap produsen mobil Barat yang beroperasi di China.
Usai pengumuman dari Komisi Eropa itu, produsen mobil terkemuka Eropa, seperti Volkswagen, Mercedes-Benz, dan BMW, menyatakan keberatan serius, karena tindakan proteksionisme semacam itu dapat membuat mereka kehilangan sebagian dari pasar China, salah satu pusat keuntungan utama mereka.
Di Eropa, penerapan tarif tambahan akan memicu melonjaknya harga EV, yang menjadi hambatan bagi upaya UE untuk memenuhi Kesepakatan Hijau Eropa, atau European Green Deal, yang ambisius.
Inisiatif tersebut, yang diluncurkan pada 2019 dan dibuat untuk menghentikan secara bertahap pendaftaran mobil dan mobil van dengan mesin pembakaran internal kecuali mesin e-fuel per 2035, kini menghadapi potensi hambatan.
"Tidak mungkin negara mana pun di dunia bisa menjadi ramah lingkungan, cepat, dan berdedikasi tanpa China, karena biaya yang harus ditanggung akan jauh lebih tinggi," kata Erik Solheim, salah satu ketua Europe-Asia Center sekaligus mantan wakil sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024