Jakarta (ANTARA News) - Di tengah cuaca dingin malam, gerimis hujan, dan arus kencang air luapan Kali Ciliwung, Novri Hamdani duduk letih setelah gagal membujuk warga RT 14 RW 02 Kampung Pulo, Jakarta Timur, untuk dievakuasi.
Upayanya melawan arus luapan air kali Ciliwung untuk menghampiri dan membujuk warga yang masih berkeras tinggal di rumah, tampak percuma.
"Rata-rata warga udah punya 'safety' sendiri. Mereka tidak mau dievakuasi, tapi udah punya penanganan khusus," ujar petugas pencarian dan penyelematan (SAR) Taruna Siaga Bencana (Tagana) yang akrab disapa Alex itu, Rabu, saat menceritakan kejadian pada Selasa (14/1) lalu.
Saat itu, kepada warga, Alex membujuk warga akan pentingnya evakuasi karena tinggi air sudah mencapai satu setengah meter atau setinggi wajah orang dewasa.
"Arus air di Kampung Pulo sangat kencang, seharusnya mau dievakuasi," ujar pria berusia 35 tahun itu.
Namun hal itu tetap tidak membuat warga luluh dan mau dievakuasi. Imbauan yang diutarakan Alex hanya berkahir dengan perdebatan.
Di saat dirinya letih dan bertahan duduk di tembok rumah warga, sebuah ember dari atas yang diturunkan menggunakan tambang tepat menghampiri wajahnya.
Ember itu berisi segelas teh manis hangat dan sejumlah makanan kecil seperti biskut dan roti.
Kebetulan ia lapar dan haus karena sudah bersusah payah menuju lokasi evakuasi itu. Apalagi Alex baru tidur sekitar dua jam saja pada malam sebelumnya.
"Ngemil-ngemil dulu mas, santai dulu lah," ujar warga tersebut seperti ditirukan Alex.
"Terima kasih Pak, kita santai dulu lah,"jawab Alek yang saat itu seorang diri, sedangkan petugas lainnya berada di perahu yang dihubungkan dengan tambang ke rumah warga.
"Keramahan warga seperti itu bikin kita makin semangat," ujar Alek.
Kejadian itu mengingatkan Alex pada bencana banjir di Kampung Pulo pada 2013 ketika dirinya juga menjadi petugas SAR Tagana.
Saat itu, banjir di Kampung Pulo terjadi pada Ramadhan. Ketika ia berusaha mengevakuasi, warga bergeming untuk diungsikan.
Justru warga mengajak Alex masuk ke rumah untuk menyantap hidangan sahur secara bersama-sama di lantai dua.
Akhirnya, lebaran Idul Fitri pada 2013 pun, Alek habiskan di rumah warga Kampung Pulo.
"Mungkin karena Tagana kan orang-orangnya dari unsur masyarakat, jadi warga mudah dekat dengan kami," ujarnya.
"Lebaran pun, saya masih bertugas, dan sama-sama makan ketupat di rumah warga," ujar Alek.
Alek mengatakan segelas tes hangat dan makanan kecil itu menjadi bentuk apresiasi warga yang tidak dia dapatkan dari pihak manapun, selama dia bertugas.
Hal itu pula yang membuatnya tetap bersemangat, meskipun dirinya sudah 10 hari berjaga di Tenda Tagana yang berlokasi di Posko Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur.
Selama 10 hari itu pula dirinya hanya tidur dua hingga empat jam per harinya karena harus mengurus logistik dan evakuasi.
"Apalagi yang menyenangkan bagi kami relawan, kalau bukan apresiasi warga dan keramahannya," ujarnya.
Oleh Indra Arief Pribadi
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014