Jakarta (ANTARA) - Permasalahan tentang penyalahgunaan narkotika seolah-olah belum ada habisnya menimpa anak bangsa, hingga membawa derita bagi keluarga-keluarga penyalahguna.

Selain menjadi permasalahan terhadap keluarga, narkotika juga menjadi permasalahan bagi negara. Bukan hanya dari sisi hukum, tingginya angka tersangka atau tahanan terkait kasus narkoba juga menyebabkan negara mesti mengalokasikan sebagian kekuatannya untuk penanganan hal tersebut.

Di Indonesia, wilayah yang paling terdampak oleh peredaran narkotika adalah Provinsi Sumatera Utara. Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Agung Setya di suatu seminar, beberapa waktu lalu mengungkapkan masalah barang terlarang itu sudah menjalar hingga anak-anak di bawah umur.

Gelombang-gelombang kasus kriminal di Sumatera Utara biasanya berasal atau bermuara kepada kasus narkotika. Contohnya, seseorang melakukan tindak kejahatan karena pengaruh narkotika atau kejahatan dilakukan untuk membeli narkotika.

Jika dilihat dengan gambaran yang lebih besar, Sumatera Utara pun bukan menjadi satu-satunya daerah yang dirusak oleh narkotika. Karena penjara-penjara di Indonesia, nyatanya separuh lebih diisi oleh pelaku kasus narkotika.

Di tahun 2024, tercatat jumlah orang yang mendekam di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan sebanyak 265.346 orang. Dari angka tersebut, 139.070 orang di antaranya atau sekitar 52,5 persen merupakan pelaku kasus narkotika.

Pemerintah sejauh ini sudah menaruh perhatian serius terhadap kasus narkotika yang merusak masa depan bangsa, salah satunya dengan mengambil inisiatif bersama DPR RI dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


Jangan mulai dari nol

Kantor wakil rakyat, beberapa waktu belakangan mendapat sorotan terkait sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial, mulai RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Penyiaran, RUU TNI, hingga RUU Polri.

Dari sejumlah RUU itu, ada satu RUU yang sedianya sudah lama tak diperbincangkan tetapi kembali naik ke permukaan, yaitu RUU tentang Narkotika. Isu itu dibahas ketika Komisi III DPR RI menggelar rapat bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/6).

Sebagai menteri yang jabatannya akan berakhir pada tahun ini, Yasonna ingin RUU yang masuk ke dalam program Legislasi Nasional (Prolegnas) tersebut menjadi warisan atas kinerjanya bersama DPR RI periode 2019-2024, demi menghadirkan titik terang atas penyelesaian masalah narkotika.

Sejauh ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM telah mengusulkan agar RUU tersebut mengatur tentang zat psikoaktif baru, penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai rehabilitasi, pembentukan tim asesmen terpadu, kewenangan tim penyidik dari Badan Narkotika Nasional, hingga penyempurnaan ketentuan pidana.

Salah satu poin yang disoroti dalam RUU tersebut adalah soal belum adanya konsepsi yang jelas tentang pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, untuk membedakan antara korban narkotika dan pengedar narkotika, sehingga UU yang ada saat ini dinilai perlu disempurnakan.

Selain itu, aturan mengenai tim asesmen terpadu yang menjadi poin krusial untuk dimasukkan ke dalam RUU tersebut. Pasalnya tim asesmen itu akan menentukan seseorang yang terlibat kasus narkotika untuk ditindak dengan cara rehabilitasi atau dengan hukum.

Yasonna pun ingin RUU tersebut bisa rampung sebelum DPR di periode ini berakhir. Karena jika dilanjutkan ke periode selanjutnya, maka pembahasannya akan mulai kembali dari nol.


Mengurangi beban penjara

Sejak tahun 2020 hingga tahun 2024, kapasitas penjara di Indonesia, baik lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan, hanya bisa menampung 132 ribu hingga 140 ribu orang.

Selama periode tersebut, jumlah narapidana maupun tersangka yang menghuni penjara-penjara di Indonesia tidak pernah kurang dari angka sekitar 250 ribu orang.

Berdasarkan sistem Database Pemasyarakatan tanggal 1 Juni 2024 ada 265.346 orang yang sedang mendekam di penjara. Padahal secara ketentuan, penjara di Indonesia secara keseluruhan hanya berkapasitas 140.424 orang.

Dengan begitu, saat ini penjara-penjara di Indonesia sedang dalam kondisi yang sangat sesak karena sudah mengalami kelebihan kapasitas 89 persen berdasarkan data tersebut. Sebagian besar kelebihan itu diisi oleh orang-orang yang terjerat dengan kasus narkotika.

Komisi III DPR selaku legislator memiliki semangat yang sama dengan pemerintah untuk menuntaskan RUU tersebut.

Namun dalam perjalanannya, proses pembahasan cukup alot karena adanya usulan agar RUU tersebut juga mengatur tentang psikotropika. Usulan itu, antara lain bakal mengatur batas penggunaan ganja sebagai kebutuhan medis.

Terlepas dari lama prosesnya, kebutuhan RUU tersebut pun cukup penting untuk menghadapi masalah kelebihan kapasitas di penjara.

Jika hal itu terlaksana, maka masyarakat pun akan menyadari bagaimana cara memperlakukan seorang pecandu narkotika yang tidak melulu melalui pendekatan secara hukum. Karena penghukuman kepada korban atas masalah narkoba itu pada akhirnya tidak akan mengubah keadaan.

Persoalan narkotika ini sebenarnya adalah masalah ekonomi yang menjadikan masyarakat Indonesia sebagai pasar. Namun daripada penegakan hukum menyasar pada pengguna atau orang dengan barang bukti yang sedikit, lebih baik negara memfokuskan penindakan terhadap produsen.

"Bandar-bandar itu yang selama ini telah merusak generasi kita," kata anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari.

Pendekatan rehabilitasi bagi pecandu narkotika juga salah satu bentuk penyelesaian suatu masalah dengan restorative justice. Dengan menekankan pemulihan keadaan seorang pecandu, maka permasalahan sesaknya penjara pun dapat tertangani.


Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024