"Daya tawar Aceh dengan Pemerintah Pusat relatif masih kurang. Aceh butuh pemimpin dengan nilai tawar yang lebih baik," kata Prof Marwan, di Banda Aceh, Kamis.
Pernyataan itu disampaikan Prof Marwan saat membuka diskusi ilmiah figur Gubernur Aceh pada Pilkada serentak 2024, 'Perspektif civitas akademika Universitas Syiah Kuala', yang diselenggarakan Fisip USK, di Banda Aceh.
Prof Marwan menyampaikan, salah persoalan hari ini adalah terkait revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang belum memiliki kemajuan. Hal itu disebabkan kurangnya nilai tawar Aceh ke pusat.
DPR Aceh, kata dia, telah meminta masukan kepada USK Banda Aceh terkait naskah akademik perubahan UUPA tersebut, dan sudah diselesaikan secara baik.
Namun, sampai hari ini belum ada kejelasan sudah sejauh ini tindak lanjut dari rancangan perubahan UUPA tersebut.
"Kita sudah memberikan masukan (revisi UUPA), namun belum ada tindak lanjut lebih jauh. Maka Aceh butuh pemimpin dengan nilai tawar agar implementasi UUPA lebih optimal," ujarnya.
Sebagai informasi, Baleg DPR RI telah menyetujui dan telah memasukkan rencana revisi UUPA dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. Karenanya Aceh ikut melakukan kajian secara khusus. Tetapi, sampai hari ini belum ada perkembangan yang signifikan.
Selain itu, lanjut Prof Marwan, nilai tawar dari Gubernur Aceh kedepan juga dibutuhkan guna meningkatkan pembangunan, sehingga banyak program pusat yang bisa dibawa pulang ke tanah rencong.
Tetapi, ia enggan menyebutkan siapa saja tokoh Aceh saat ini yang dinilai memiliki nilai tawar ke Pemerintah Pusat.
"Ini perlu ke depan, sehingga bisa memberikan sesuatu untuk Aceh seperti PSN jalan tol, dan lainnya," demikian Prof Marwan.
Baca juga: Antropolog: Animo masyarakat memilih pemimpin Aceh mulai menghilang
Baca juga: ICMI sarankan 10 kriteria calon Gubernur Aceh dari sisi islam dan adat
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024