Hasil survei menunjukkan kekhawatiran publik di tingkat global yang semakin besar tentang kondisi laut

Bogor (ANTARA) - Survei global yang dilakukan Marine Stewardship Council (MSC) dan GlobeScan menyatakan bahwa hampir setengah dari konsumen mengubah pola makan dikarenakan khawatir terhadap kondisi lautan.

Direktur Program MSC di Indonesia Hirmen Syofyanto dalam keterangannya di Bogor, Jawa Barat, Selasa, mengungkapkan survei yang dilakukan konsultan wawasan dan penasehat global GlobeScan ini sengaja dirilis pada peringatan Hari Laut Sedunia atau World Ocean Day PBB pada Sabtu (8/6).

“Hasil survei menunjukkan kekhawatiran publik di tingkat global yang semakin besar tentang kondisi laut kita. Melindunginya, dan keragaman kehidupan di dalamnya adalah penting untuk kesehatan bumi ini," ungkap Hirmen.

Survei tersebut mencatat, konsumen semakin sadar bahwa pilihan makanan mereka mempengaruhi planet yang dihuni. Para peneliti mensurvei lebih dari 27.000 orang di 23 negara dan menanyakan apakah pola makan mereka berubah.

Dari lebih dari 22.000 orang yang mengatakan ya, 43 persen di antaranya mengatakan itu karena alasan lingkungan, selain kesehatan dan harga.

Perubahan terbesar terjadi pada pola konsumsi daging merah, seperti sapi dan domba, dengan 39 persen dari semua pembeli yang disurvei mengurangi konsumsi mereka dalam dua tahun terakhir.

Kemudian, 37 persen mengatakan mereka makan lebih banyak sayuran dan 11 persen mengatakan mereka makan lebih banyak ikan. Mempertimbangkan masa depan, 27 persen responden mengatakan mereka akan makan lebih banyak seafood di masa depan jika mereka tahu pilihannya tidak merusak laut.

Kekhawatiran lingkungan tertinggi konsumen adalah terkait perubahan iklim (51 persen menempatkannya di tiga teratas), tetapi masalah utama lainnya adalah hilangnya dan rusaknya hutan dan lahan kayu (40 persen), polusi di sungai dan aliran (38 persen), dan kesehatan laut (35 persen).

Kekhawatiran tentang kondisi laut dunia di antara konsumen seafood semakin meningkat, dengan 91 persen dari mereka mengatakan mereka khawatir, naik dari 89 persen dua tahun lalu.

Optimisme tentang kemungkinan menyelamatkan laut dari kerusakan yang tidak dapat diperbaiki telah menurun. Hanya 35 persen yang mengatakan mereka percaya dalam 20 tahun mendatang kita akan menyelamatkan laut dari kerusakan yang tidak dapat diperbaiki oleh manusia, turun dari 48 persen dua tahun lalu.

Meskipun pandangan mereka terhadap masa depan laut ada penurunan, kesadaran yang lebih besar tentang konservasi dan peristiwa cuaca ekstrem baru-baru ini, termasuk suhu yang memecahkan rekor, juga bisa menjadi motivasi, dengan 64 persen mengatakan mereka merasa keinginan yang meningkat untuk melindungi lingkungan laut karena perubahan iklim yang dirasa.

Hirmen menyebutkan, dalam hal solusi yang dapat ditawarkan, survei menunjukkan bahwa publik memiliki pemahaman yang baik tentang peran perikanan berkelanjutan; 55 persen konsumen seafood mengatakan mereka mengaitkannya dengan memastikan bahwa spesies yang terancam atau rentan lebih terlindungi.

Selain itu, 54 persen responden mengakui bahwa perikanan berkelanjutan termasuk menjaga populasi ikan yang sehat dan berkembang, yang keduanya merupakan komponen kunci dari Standar Perikanan MSC.

"Kita perlu menggandakan upaya kolektif kita untuk menangani penangkapan ikan berlebihan dan ancaman besar yang ditimbulkannya. Mendorong perubahan positif, melalui pengakuan dan penghargaan terhadap nelayan yang berkelanjutan adalah vital untuk kemajuan,” kata Hirmen.

Menurut dia, Indonesia sebagai negara produsen, memiliki andil besar dalam mewujudkan sumber perikanan yang berkelanjutan.

"Dengan memastikan praktik penangkapan ikan berkelanjutan, kita dapat menjamin kehidupan bawah laut serta melindungi sumber protein berharga untuk generasi ini dan generasi mendatang,” tuturnya.

Sementara, Direktur Eksekutif GlobeScan Caroline Holme mengatakan, hasil survei mencerminkan temuan yang lebih luas dalam studi tahunan tentang kehidupan yang sehat dan berkelanjutan dan persepsi publik mengenai tantangan yang dihadapi dunia.

"Bahkan di tengah krisis biaya hidup, masalah lingkungan menjadi perhatian utama konsumen,” ujar Caroline.

Hari Laut Sedunia ditetapkan pada 8 Juni oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2008 untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak tindakan manusia terhadap laut,dan untuk menyatukan orang-orang dalam meningkatkan pengelolaan laut dunia yang berkelanjutan.

Perikanan bersertifikat MSC telah melakukan lebih dari 400 perbaikan praktik penangkapan ikan dalam tiga tahun terakhir, termasuk untuk melindungi spesies laut yang terancam punah dan habitat yang rentan.

Nelayan yang bersertifikat sesuai standar perikanan global berbasis ilmu pengetahuan MSC diwajibkan dapat mengelola stok ikan secara berkelanjutan dan meminimalkan dampak pada lingkungan laut yang lebih luas.

Baca juga: Indonesia harap volume ekspor produk laut ke pasar China meningkat
Baca juga: KKP memfasilitasi nelayan tuna di Biak dapatkan sertifikat MSC
Baca juga: KKP: Tuna Indonesia berstandar MSC bukti komitmen dukung keberlanjutan

Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024