Bogor, (ANTARA News) - Membuang lumpur panas milik PT Lapindo Brantas Inc, yang hingga kini belum dapat diatasi semburannya dan telah merendam rumah warga di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) ke laut, dinilai oleh pakar pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai "kebijakan gegabah" dan malah akan menyebabkan petaka baru ekologis. "Kebijakan (lumpur Lapindo) dibuang di laut itu gegabah karena karakteristik dari laut itu berinteraksi dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain, sehingga walaupun sudah memenuhi kriteria baku mutu tetap bahwa sedimennya akan berdampak pada kehidupan laut," kata Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS di Bogor, Senin (4/9). Saat diwawancarai ANTARA sehubungan dengan persoalan tersebut, ia mengaku tetap menentang proses membuang limbah itu dibuang ke laut, karena akan menambah problem baru lingkungan, yang semula terjadi di darat, dan dengan gegabah kemudian akan dialihkan ke laut. Ia mengemukakan, kalau persoalan limbah terjadi di darat, maka itu akan berhenti di satu tempat, sedangkan kalau di laut, maka dinamika perairan akan dibawa ke berbagai wilayah. "Padahal kita belum memiliki data memadai untuk mengetahui akan ada dampak atau tidak ke wilayah laut di sekitar Surabaya, Selat Madura atau bisa keluar dari Selat Madura. Nah, implikasinya, yang dekat ke situ kan Bali, itu kawasan wisata," katanya. Ketika ditanya apakah dengan demikian, bila limbah lumpur itu dibuang ke laut bisa sampai ke kawasan perairan di pulau Bali, ia menjawab, "Kita belum tahu arah arus karena data untuk mengetahui dinamika perairan kan masih sangat terbatas, sehingga saya tetap menyatakan menentang proses limbah itu dibuang ke laut," kata guru besar Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan IPB itu. Sementara itu, ketika menjawab pertanyaan mengenai apakah terjadi persoalan di tingkat "policy" pemerintah dalam kasus lumpur Lapindo itu, mengingat ada pejabat di dalam kabinet yang mempunyai saham di perusahaan itu, ia menegaskan bahwa hal semacam itu tidak boleh menjadi gangguan untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang mencemari lingkungan. "Proses pengambilan kebijakan kan selalu didasarkan kepada bagaimana kebijakan tadi memberikan manfaat terbesar untuk rakyat, bukan kepada kepentingan institusi dalam artian bisnis," katanya. Dalam kaitan itu, kata dia, seharusnya pada saat terjadi lumpur panas itu, pemerintah harus segera mengambil inisiatif membuat kebijakan sehingga kepentingan rakyat tidak terabaikan. Dengan demikian, fungsi-fungsi institusi seperti presiden, departemen terkait, seharusnya dapat memberikan suatu terobosan bagi kebijakan yang aman dan ramah secara lingkungan dan juga tidak mengganggu kesejahtreraan masyarakat. "Saya kira fungsi dari lembaga tadi seharusnya kembali pada semangat petaka yang timbul tadi diminimumkan kerugiannya bagi masyarakat," katanya. Tak hanya sampai di situ, menurut Tridoyo Kusumastanto, karena terkait dengan pemerintah daerah (Pemda), maka Pemda juga harus dilibatkan, dan sebetulnya proses-proses pengolahan limbah itu sudah bisa dilakukan. "Tinggal apakah yang mencemari itu bertanggung jawab kan? Seharusnya `poluter must pay`, jadi yang membuat polusi ya.. dia harus membayar," katanya.(*)

Copyright © ANTARA 2006