Jakarta (ANTARA) - Semen menjadi bahan penolong utama dalam setiap proses konstruksi.

Bahan tersebut sudah menjadi kebutuhan primer bagi pembangunan infrastruktur di seluruh negara, karena berfungsi sebagai perekat untuk memperkokoh bangunan, jembatan, dan produk infrastruktur penunjang perekonomian lainnya.

Bahan utama pembuatan semen adalah pasir, batu kapur, dan tanah liat yang dicampur pasir besi untuk meratakan panas, serta gipsum yang berfungsi untuk memperkuat perekat.

Seluruh bahan tersebut dibakar hingga mencapai panas 15.000 derajat Celcius yang mampu mengubahnya menjadi material yang disebut klinker. Klinker inilah kemudian digiling sampai halus, sehingga pada akhirnya menjadi semen yang biasa digunakan di setiap bangunan.

Pemerintah menyatakan, penggunaan semen yang masif secara nasional menandakan bahwa pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik. Indonesia menjadi produsen terbesar dan salah satu pengguna semen terbanyak di Asia Tenggara (ASEAN), dengan kapasitas produksi mencapai 120 juta ton per tahun, serta kebutuhan semen dalam negeri sebanyak 66,8 juta ton pada tahun 2023.

Di balik manfaat besar untuk pemajuan pembangunan suatu negara, ternyata produk semen menjadi salah satu penyumbang karbon dioksida (CO2) yang cukup tinggi. Pembakaran CO2 atau dikenal sebagai emisi karbon bila dihasilkan secara masif dan berkelanjutan bisa menyebabkan perubahan iklim ekstrem, hingga katastrofe.

Laporan terbaru dari Global Carbon Project dan International Energy Agency pada tahun 2023, secara kumulatif emisi karbon yang dilepaskan di seluruh dunia ke atmosfer mencapai 37,4 gigaton, dan 4 persen di antaranya dihasilkan oleh penggunaan semen.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara rinci menghitung emisi karbon yang dihasilkan oleh semen mencapai sebanyak 0,869 ton CO2 dari setiap 1 ton semen.

Menyadari hal tersebut pemerintah Indonesia berkomitmen melakukan pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi) guna menjaga kelestarian lingkungan hidup, termasuk dalam industri dan penggunaan semen dalam negeri.

Komitmen itu tertuang dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC) yang dinaikkan menjadi 32 persen atau setara dengan 912 juta ton CO2 pada tahun 2030. Sebelumnya, pemerintah hanya menargetkan 835 juta ton CO2 dalam periode yang sama.

Upaya dekarbonisasi semen ditujukan untuk pemajuan pembangunan yang mendorong peningkatan ekonomi tanpa merusak lingkungan atau dikenal sebagai pembangunan hijau.

Strategi yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia dalam konsep pembangunan hijau adalah dengan penggunaan semen ramah lingkungan (green cement) serta menyusun peta jalan dekarbonisasi semen.

Green cement

Produk green cement yang diperkenalkan oleh pemerintah dan pengusaha industri adalah semen portland komposit (portland composite cement/PCC) dan semen portland pozzolan (portland pozzoland cement/PPC).

Secara teknis, semen ramah lingkungan itu menggunakan rasio klinker yang lebih rendah dan menggantinya dengan bahan penolong lain. Hal itu membuat kedua jenis semen PCC maupun PPC mampu mengemisi CO2 lebih sedikit ke atmosfer, baik dalam proses produksi maupun saat digunakan untuk bahan bangunan.

Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyatakan produk PCC dan PPC diestimasi dapat menurunkan emisi CO2 sampai 26 persen. Artinya bila menggunakan kalkukasi 0,869 ton CO2 per 1 ton semen, maka kedua jenis semen tersebut hanya menghasilkan 0,643 ton CO2 per 1 ton.

Selain PCC dan PPC, semen dengan bahan baku limbah juga termasuk dalam kategori semen ramah lingkungan. Penggunaan bahan dari limbah tembaga, limbah padat bekas batu bara (FABA), dan limbah peleburan besi bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku proses produksi semen yang dapat mengurangi emisi CO2, sekaligus mampu mengurangi volume limbah di Tanah Air.

Salah satu bukti realisasi penggunaan green cement dalam mewujudkan pembangunan hijau yang berkelanjutan adalah proyek strategis Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.

Pemerintah, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Semen Indonesia (SIG) memasok semen ramah lingkungan yang digunakan sebagai bahan utama bangunan di Istana Negara, Kantor Presiden, lapangan upacara di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP), In-take Sepaku, Bendungan Sepaku, serta Jalan Tol IKN Seksi 3A (Karangjoang-KKT Kariangau), Seksi 3B (KKT Kariangau-Simpang Tempadung), dan Seksi 5A (Simpang Tempadung-Jembatan Pulau Balang).

Bahkan, semen buatan industri milik negara tersebut mampu menyerap CO2 lebih tinggi dibandingkan produk semen PCC maupun PPC biasa, yakni sebesar 38 persen, atau hanya mengemisi 0,538 juta ton CO2 per 1 ton semen. Artinya penggunaan semen ini bisa mewujudkan dekarbonisasi semen hampir 40 persen.

Terhitung sejak Desember 2022 hingga Februari 2024, pemerintah telah menggunakan 400 ribu ton green cement untuk pembangunan IKN. Selain membantu dekarbonisasi, "green cement" juga memberikan keunggulan teknis dan harga yang lebih murah. Hal itu karena green cement memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap tekanan tinggi, suhu panas, serangan sulfat, kedap air, serta memiliki permukaan yang halus.


Peta jalan

Guna mewujudkan nol emisi karbon (NZE) dari sisi industri semen, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian menyusun peta jalan dekarbonisasi di sektor tersebut.

Peta jalan itu nantinya akan diterapkan bersamaan dengan peraturan teknis Menteri Perindustrian yang mulai direalisasikan pada tahun 2025.

Direktur Industri Semen, Keramik dan Pengolahan Bahan Galian Non-Logam Kemenperin Putu Nadi Astuti menyebut dalam peta jalan tersebut pihaknya mengatur secara terperinci teknis penurunan emisi karbon industri semen, seperti target dekarbonisasi secara interval waktu jangka pendek dan panjang, serta rencana aksi yang mesti dilakukan setiap perusahaan guna mewujudkan NZE.

Peta jalan itu berfokus pada strategi penerapan penurunan rasio klinker terhadap semen. Hal ini karena bahan klinker menjadi penyebab tingginya emisi yang dilepas ke atmosfer. Selanjutnya kewajiban peralihan bahan bakar yang konvensional menjadi bahan bakar energi terbarukan, seperti biofuel atau bioetanol yang terbuat dari tumbuhan, sehingga secara langsung turut mendorong efisiensi energi.

Lalu pengembangan teknologi inovatif yang salah satunya dengan menerapkan program restrukturisasi atau penggantian alat produksi yang usang menjadi yang terbaru.

Meski peta jalan itu mulai direalisasi pada tahun depan, namun pemerintah sudah mewajibkan penurunan emisi dari sektor semen sejak tahun 2012. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 12/M-IND/ PER/1/2012 Tahun 2012 tentang Penurunan Emisi yang mewajibkan setiap perusahaan berkontribusi melakukan dekarbonisasi semen sebanyak 2-3 persen per ton dalam interval waktu setiap 4 tahun.

Melalui penggunaan green cement serta upaya dekarbonisasi melalui peta jalan yang disusun, diharapkan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri dan penggunaan semen dalam negeri secara berangsur bisa diturunkan. Dengan demikian, visi Indonesia mencapai nol emisi karbon yang mengedepankan pembangunan hijau pada tahun 2060 bisa terwujud.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024