Bogor (ANTARA News) - Setelah Indonesia membangun pertanian sekitar 36 tahun terakhir, menurut Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg-BUMN), Soegiharto, secara umum dapat disimpulkan ternyata permasalahan yang dihadapi masih cukup besar dan kompleks bagi terwujudnya pertanian yang lebih baik.
"Transformasi ekonomi belum menguntungkan pertanian, sehingga petani gurem meningkat jumlahnya. Industri kita juga belum berkembang, sehingga penambahan angkatan kerja menumpuk di pertanian," katanya di Bogor, akhir pekan ini.
Hal itu disampaikannya saat menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-34 Institut Pertanian Bogor (IPB) di Kampus Darmaga, dengan tema "Transformasi Pertanian: Sinergi BUMN dan Perguruan Tinggi".
Menurut dia, tidak seperti yang telah terjadi di negara-negara yang berhasil dalam mentransformasikan perekonomiannya seperti Thailand, Malaysia atau Korea Selatan, produk-produk pertanian yang dihasilkan Indonesia masih didominasi oleh produk-produk primer, yang dalam jangka panjang harganya cenderung terus menurun.
Dikemukakakannya pula bahwa setelah berhadapan dengan masalah pangan, kata dia, Indonesia sebagai negara anggota OPEC --dengan menonjolkan klasifikasi statistik penerimaan dari Migas dan non-Migas--ternyata pada di awal abad ke-21, Indonesia juga berhadapan dengan kelangkaan energi Migas.
Ia mengatakan bila Brazil telah mencanangkan pemmebasan ketergantungan energi minyak bumi yang diperoleh dari impor pada tahun 1970-an awal, dan mulai mengembangkan perkebunan tebu sebagai penghasil gula, sekaligus ethanol, dan ternyata memetik hasilnya dengan sukses, Indonesia baru memulainya.
"Dengan menggunakan sudut pandang optimis, maka tentu hal ini menjadi peluang besar untuk sektor pertanian," katanya.
Atas dasar itu, harus dicari jalan baru untuk mewujudkan masa depan pertanian Indonesia yang lebih baik. Terkait dengan upaya tersebut, pemerintah telah menetapkan program pembangunan dengan menggunakan strategi tiga jalur (triple track strategy), yakni "pro growth", "pro employment", dan "pro poor".
Operasionalisasi dari strategi tiga jalur itu dirancang melalui tiga hal. Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor, kedua, pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan ketiga, revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.
Kebijakan revitalisasi sektor pertanian ini telah digariskan dalam kebijaka Revitalisasi Pertanian, Perikanan, Kehutanan (RPPK) 2005, dan revitalisasi sektor pertanian ini akan melibatkan peran dari berbagai kekuatan ekonomi pertanian, demikian Soegiharto. (*)
Copyright © ANTARA 2006