"Oleh karenanya, Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan demikian menjelaskan institusi kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang diberi wewenang penuntutan, dan jaksa agung dalam jabatannya yang mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan,"
Solo (ANTARA) - Pengamat Hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Muhammad Rustamaji menyebut perlu kolaborasi yang padu antar aparat penegak hukum dalam menyikapi kasus yang melibatkan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh.
Rustamaji di Solo, Jawa Tengah, Jumat mengatakan pendapat tersebut menyikapi kasus hukum Gazalba yang lolos dari jeratan hukum dalam kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) setelah Jaksa KPK mengeksekusi Putusan Sela Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
"Putusan atas kasus Gazalba ini juga dikaitkan dengan eksistensi asas een en ondelbaar. Asas tersebut menegaskan bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Een en ondelbaar berfungsi memelihara kesatuan kebijakan penuntutan yang menampilkan tata pikir, tata laku, dan tata kerja lembaga penuntut," kata Wakil Dekan Akademik, Riset, dan Kemahasiswaan Fakultas Hukum UNS ini.
Ia mengatakan asas demikian disematkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan dan Penjelasannya.
"Oleh karenanya, Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan demikian menjelaskan institusi kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang diberi wewenang penuntutan, dan jaksa agung dalam jabatannya yang mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan," katanya.
Oleh karena itu, ketika majelis hakim menggunakan cara pandang normatif sesuai aturan dalam hukum acara yang menyatakan Jaksa KPK tidak berwenang mengajukan tuntutan terhadap Gazalba Saleh, menurut dia tidak dapat disimplifikasi sebagai langkah pelemahan KPK.
"Ketentuan normatif yang ditaati hakim, justru menegaskan perlunya kolaborasi yang padu antar aparat penegak hukum agar bersatu dalam proses penuntutan. Ketentuan tekstual yang mewujudkan een en ondelbaar dalam proses penuntutan di bawah Jaksa Agung menjadi poin penting penegakan hukum yang terkoordinasi," katanya.
Menurut dia, sikap yang mengedepankan hermeneutik of suspecsious pada peradilan Gazalba Saleh harus dikoreksi dengan penerapan asas, ketentuan, maupun kepentingan kesatuan proses penuntutan oleh kejaksaan.
"Sehingga hukum acara sebagai rule of the game tidak dipandang secara skeptis dan parsial dalam implementasinya dalam menemukan kebenaran materiil," katanya.
Sementara itu, terlepas dari pro dan kontra yang terjadi, ia menilai putusan hakim merupakan hukum yang bersifat in konkreto.
"Putusan hakim inilah yang juga disebut sebagai hukum, dan merupakan perwujudan judge made law. Putusan yang dihasilkan juga merupakan bahan hukum primer yang bersifat autoritatif, yang artinya dari suatu produk hukum tersebut mempunyai kewenangan berdasar hukum," katanya.
Oleh karena, putusan hakim selalu dianggap benar sepanjang belum ada putusan hakim yang menganulirnya.
Kaitannya dengan kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana korupsi sesuai lex specialis UU Tipikor maupun UU KPK, dikatakannya, tidak serta merta menegaskan kedudukan sentral Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
"Ini karena UU KPK merupakan lex specialis terhadap KUHAP, bukan terhadap UU Kejaksaan. Sejalan dengan asas dominus litis dan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh jaksa, single prosecution system yang menempatkan jaksa agung sebagai penuntut umum tertinggi, merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional," katanya.
Berdasarkan asas dominus litis, dikatakannya, kejaksaan dan penuntut umum yang menerima pendelegasian wewenang penuntutan dari jaksa agung merupakan pemilik perkara atau pihak yang memiliki kepentingan nyata dalam suatu perkara.
"Sehingga berwenang menentukan dapat tidaknya suatu perkara diperiksa dan diadili di persidangan," katanya.
Pewarta: Aris Wasita
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024