Jadilah tersangka yang kooperatif, baik dalam kasus mengenai dirinya maupun untuk membuka tabir yang lebih besar."

Jakarta (ANTARA News) - Setelah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta pada Jumat (10/1), hingga saat ini posisi mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum tetap saja menjadi sorotan publik karena menolak menyantap hidangan yang disiapkan KPK.

Selain itu Anas Urbaningrum juga menyerang pimpinan Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

Penolakan untuk menikmati sajian makanan yang disiapkan KPK saja sudah menjadi perhatian publik karena selama ini praktis tidak pernah terdengar penolakan dari tahanan yang mana pun juga terhadap santapan di tahanan apalagi semua tahanan itu merupakan "orang-orang besar" karena mereka itu umumnya adalah menteri atau mantan menteri, anggota DPR, jenderal polisi hingga anggota DPR dan hakim.

Pertanyaan yang bisa timbul pada benak orang-orang awam di seantero Tanah Air ini adalah apakah Anas takut diracun oleh orang-orang yang tidak menyukainya ataukah penolakan itu sekedar sensasi untuk menunjukkan bahwa mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini terus menolak dirinya dijadikan tahanan dan kemudian menjadi terdakwa dalam pengadilan tindak pidana korupsi?

Namun sekarang terdengar kabar atau isu bahwa politisi muda ini sudah "berkenan" untuk mau menikmati makanan buatan koki-koki KPK. Mudah-mudahan kabar itu jika benar menunjukkan bahwa bagi Anas tidak ada pilihan lain kecuali ikhlas menerima status barunya sebagai tersangka dan bakal terdakwa lembaga antikorupsi ini.

Jika "soal kecil" seperti makanan ini sudah terselesaikan maka pusat perhatian masyarakat terhadap Anas ini tentu tidak akan berkurang misalnya apakah ia benar menerima suap atau istilah "terhormatnya gratifikasi misalnya pada pembangunan proyek sarana olahraga di Hambalang, Bogor dan beberapa proyek lainnya yang sama-sama "aduhai" jumlahnya karena nilainya yang mencapai miliran rupiah.

Karena pendiri Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) ini menuduh bahwa sejumlah pejabat dan tokoh lainnya ikut menikmati, maka tentu saja tuduhan atau sangkaannnya menjadi perhatian KPK. Salah satu orang yang menjadi sasaran Anas dan rekan-rekannya antara lain adalah Edhie Baskoro yang tidak lain adalah putra kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga merupakan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, apalagi Edhie Baskoro yang nama akrabnya adalah Ibas merupakan Sekjen DPP Partai Demokrat.

Karena itu, tidak heran jika kemudian KPK mengeluarkan pernyataan yang keras saat menanggapi lontaran tuduhan dari Anas yang kini namanya sering diringkas dengan ringkasan "AU".

"Jangankan Sekjen Partai Demokrat. Ketua Umumnya juga kalau Anas punya bukti, silahkan disampaikan kepada penyidik. Tapi tentu harus didukung fakta dan bukti-bukti," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Sabtu (11/1).

Sementara itu, pengamat politik Yunarto Wijaya juga mengeluarkan pernyataan yang patut direnungkan orang banyak tentang Anas. Yunarto Wijaya menegaskan bahwa selama ini Anas telah berulang kali mengeluarkan ancaman tapi tetap saja akhirnya KPK tidak ragu untuk menahannya.

Karena itu Yunarto Wijaya mengeluarkan pernyataan yang patut direnungkan Anas, yakni "Jadilah tersangka yang kooperatif, baik dalam kasus mengenai dirinya maupun untuk membuka tabir yang lebih besar".

Ketika Anas datang ke kantor KPK pada hari Jumat, 10 Januari 2014, ada sebuah kejadian yang mungkin bisa dianggap remeh atau kecil.

Sebuah telur tiba-tiba terbang ke arah politisi muda ini dan kejadian ini merupakan hal yang amat langka terjadi saat seorang tersangka datang ke kantor KPK. Apakah kejadian ini menunjukkan bahwa memang banyak orang termasuk awam yang tidak suka terhadap Anas Urbaningrum? Pertanyaan itu tentu amat pantas dijawab oleh orang yang sengaja melemparkan telur itu kepada Anas.


Berbagai Proyek

Sebagai politisi muda, maka tentu saja posisinya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat menjadi sorotan, misalnya saat akan dimulainya pembangunan proyek olahraga Hambalang, Bogor. Anas dianggap terlibat dalam pengurusan surat izin mendirikan bangunan (IMB) ke Badan Pertanahan Nasional alias BPN sehingga dia mendapat sogokan atau gratifikasi yang nilainya diduga miliaran rupiah.

Anas juga dituduh terlibat dalam pengadaan proyek vaksin PT Bio Farma di Bandung, serta pengadaan laboratorium kesehatan Universitas Airlangga, Surabaya. Karena dianggap terlibat dalam beberapa proyek "raksasa" itu maka kemudian muncul tuduhan bahwa Anas menerima imbalan yang mencapai miliaran rupiah serta beberapa mobil mewah.

Masyarakat rasanya juga bisa bertanya dari mana Anas bisa membangun rumah yang mewah di Duren Sawit, Jakarta, padahal gajinya sebagai anggota DPR sampai kapan pun tidak akan mungkin membiayai pembangunan atau membeli bangunan-bangunan mahal itu.

Sementara itu, ada orang-orang yang mempertanyakan posisi Athiyah, istri Anas yng duduk sebagai tokoh penting dalam sejumlah perusahaan. Pertanyaan yang muncul misalnya adalah apakah kalau Anas bukan anggota DPR atau tidak menjadi pemimpin Partai Demokrat, maka apakah mungkin Athiyah akan mendapat kedudukan yang "serba menggiurkan" dari segi pendapatan?

Penahanan Anas untuk kemudian diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi sebagai terdakwa yang bisa memakan waktu beberapa bulan hingga amar atau vonis untuk kemudian bisa naik banding, kasasi hingga peninjauan kembali tentu akan diikuti secara seksama oleh masyarakat di seluruh Tanah Air.

Tapi ada satu hal pasti yang menarik dari kasus Anas Urbaningrum ini yakni sekalipun terdapat upaya-upaya untuk menolak penahanan dengan berbagai cara mulai dari mempertanyakan dasar kasus Hambalang hingga beberapa kasus lainnya ternyata tetap saja politisi muda ini ditangkap". Hal ini menunjukkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi praktis tidak mungkin dilawan, ditundukkan hingga dikalahkan oleh tersangka koruptor yang mana pun juga.

Kasus korupsi yang ditangani KPK bukanlah yang "remeh-remeh atau kecil-kecil" karena yang ditangani adalah berskala raksasa dan pelakunya pun adalah semua orang "besar" sehingga semua tersangka koruptor yang disasar KPK tidak perlu "unjuk rasa" secara berlebihan". (A011/Z002)

Oleh Arnaz Firman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014