Menteri ESDM Jero Wacik di Jakarta, Senin mengatakan, pemerintah sudah berketetapan melarang ekspor mineral mentah atau bijih mulai 12 Januari 2014 sesuai amanat UU 4/2009.
"Sekarang ini ada 66 smelter yang sedang kami kejar pembangunannya," katanya.
Menurut dia, dari 66 itu, 16 "smelter" sudah mencapai progres 6-10 persen atau masuk tahap analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan 15 unit tahap peletakan batu pertama (ground breaking) atau mencapai antara 11-30 persen.
Selanjutnya, sebanyak 10 "smelter" mencapai progres 31-50 persen atau memasuki tahap pertengahan konstruksi, dan 25 unit tahap akhir konstruksi (51-100 persen).
Di luar itu, 112 "smelter" sedang dalam tahap studi kelayakan.
Sejumlah "smelter" yang sudah sampai tahap 100 persen antara lain PT Manoken Surya di Cikarang untuk zirkon, PT Delta Prima Steel (pasir besi), PT Meratus Jaya Iron Steel di Kalsel (besi), PT Cilegon Indofero (nikel), PT Krakatau Posco (besi)
Indotama Ferro Alloy (mangan), PT Indonesia Chemical Alumina di Tayan (bauksit), dan PT Cahaya Modern Metal Mining (nikel).
Lalu, PT Bintang Delapan Mineral (nikel) tercapai 53 persen, PT Sebuku Iron (bijih besi) 40 persen, PT Kembar Emas 35 persen, PT Lumbung Mineral Sentosa di Bogor (timah hitam) 35 persen, PT Multi Baja Industri di Tuban, Jatim (nikel) 20 persen, PT Sumber Surya Daya Prima (pasir besi) 20 persen, dan PT Citra Jaya (nikel) 8 persen.
Jero berharap, perusahaan tambang tidak perlu menunggu sampai tiga tahun untuk menyelesaikan pembangunan "smelter".
"Kalau bisa dalam berapa bulan," katanya.
Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM No 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri masih mengizinkan ekspor mineral olahan atau konsentrat hingga 2017.
Sesuai Permen ESDM 1/2014, kadar minimum konsentrat yang bisa diekspor adalah tembaga 15 persen, bijih besi 62 persen, pasir besi 58 persen dan pelet 56 persen, mangan 49 persen, seng 52 persen, dan timbal 57 persen.
Di sisi lain, pemerintah juga menerapkan disinsentif berupa pengenaan bea keluar (BK) bagi konsentrat tambang untuk mempercepat pembangunan "smelter"-nya.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan, BK diterapkan secara progresif antara 20-60 persen mulai 2014 hingga 2016.
BK sebesar 60 persen merupakan tarif maksimal sesuai aturan yang ada.
Untuk konsentrat tembaga, BK dikenakan 25 persen pada 2014, 35 persen semester pertama 2015, 40 persen semester kedua 2015, 50 persen semester pertama 2016, dan 60 persen semester kedua 2016.
Di luar tembaga yakni konsentrat besi, mangan, timbal, seng, besi ilmenit, dan titanium, BK dikenakan 20 persen pada 2014, 30 persen semester pertama 2015, 40 persen semester kedua 2015, 50 persen semester pertama 2016, dan 60 persen semester kedua 2016.
Jero mengatakan, penerapan UU memang berdampak pada perusahaan tambang yang sebelumnya mengekspor bijih.
"Perusahaan tambang itu sudah beroperasi lama dan untung banyak, jadi istirahat sebentar saja. Sambil saya desak 66 smelter segera beroperasi," katanya.
Ia menambahkan, pihaknya bekerja sama dengan aparat kepolisian, TNI, dan bea cukai mengamankan pelaksanaan UU Minerba.
"Tentu dalam masa transisi pasti ada persoalan. Tapi, kami harapkan dalam 1-2 minggu akan normal," katanya.
Jero juga memperkirakan, pada 2015, sudah terjadi surplus antara dampak sesudah dan sebelum penerapan UU Minerba dan makin meningkat di tahun-tahun selanjutnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pada periode Januari-Oktober 2013, volume ekspor bijih nikel tercatat 46,5 juta ton, bijih dan pasir besi 16,11 juta ton, bauksit 47,01 juta ton.
Dengan pemberlakuan UU Minerba, maka Indonesia tidak lagi mengekspor mineral-mineral mentah atau bijih tersebut. (K007)
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014