Jakarta (ANTARA News) - "Amba", novel karya Laksmi Pamuntjak yang diterbitkan Gramedia PustakaUtama pada Oktober 2012, mengajak pembaca untuk tak cepat memvonis masasilam.

Novel berstruktur penceritaan yang apik tersebut berlatar belakang Indonesia tahun1965, yaitu masa yang boleh disebut salah satu bagian paling misterius danmencekam dari sejarah bangsa ini.

Memotret para korban sejarah di atas para pemenang yang menuliskan sejarahbagai dogma putih melawan hitam, Laksmi menolak dikotomi ini karena padasetiap cerita kemenangan dalam sejarah, ada bagian besar yang diabaikan.

Laksmi mengilustrasikan ini dalam kutipan sajak Bertolt Brecht dalam dialog Bhismakepada Amba --dua karakter utama dalam novel ini--, "Di tiap halamantercatat kemenangan, tapi siapa yang memasak untuk pestanya?..tiap sepuluhtahun lahir orang besar, tapi siapa yang membayar ongkosnya."


Meski berpesan banyak, Laksmi menyembunyikan pesan-pesannya dalamkarakter-karakter novelnya ini --baik Amba, maupun Bhisma, Salwa, Samuel,dan lainnya-- sehingga narasi novel tak gampang ditebak pembaca sebagai"pesan" si pengarang seperti banyak ditemui pada novel-novel lain diIndonesia.

Masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru biasanya menggoda pengarang untukberpihak, namun Laksmi menyerahkan pembaca menjadi hakim untuk yangdibacanya, dan hanya berpesan tak ada yang absolut benar dan tak ada yangabsolut salah.

Kendati kisah mengenai pencarian, cinta dan kesetiaan dominan, "Amba"lebih dari tema-tema itu.

Novel ini mengiris kerelatifan dogma yang kerap melulu soal memihak,sehingga diam menjadi derita besar manusia, seperti disebutkan Bhisma soal kegentingan pada masa utama dalam novel ini, "Diam memangmenyakitkan...Terutama diam di tengah orang yang harus hidup dengan bunuhmembunuh."


Saat itu Indonesia amat terbelah. Kemerdekaan bukan hanya melahirkanbangsa baru, namun juga perpecahan baru yang ditajamkan oleh perbedaanpolitik.

Laksmi melukiskan atmosfer itu dalam suara hati Sudarminto, ayah Amba,"Sudah setahun lamanya, semenjak 1955, tahun Pemilihan Umum pertama, adayang terasa licik dan berkhianat di udara...Di antara begitu banyaklambang yang harus dikenali (Kenapa partai harus punya lambang? Kenapalambang harus punya arti yang lain?), orang telah memilih, seperti memilihkebenaran terakhir, dan tetangga dan keluarga saling menjauhi, ataumenyesali, atau memusuhi, karena memilih partai yang tak sama".

Tak mendramatisasi


Laksmi menggambarkan kegentingan itu tanpa terlihat mendramatisasinya, tapi ironisnyaini malah membuat pembaca membayangkan kedramatisan masa tersebut, darikegundahan Sudarminto di Kadipura sampai antiklimaks kebersamaan Amba danBishma saat Universitas Res Publika diserbu.

Dalam alur terangkai rapi, Laksmi tak membiarkan bagian-bagian terpentingtertinggal, kendati pendedahan surat-surat Bhisma kepada Amba terasamenjemukkan dan memesankan imajinasi menyurut karena jalan cerita menjadiberliku.

Tapi Laksmi belumlah sampai pada tingkat ketika satu novel berakhir entengatau dipaksakan berakhir, seperti umum ditemui pada novel-novel Indonesia,kecuali pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer atau sekelasnya yang piawaimeniadakan antiklimaks semacam itu.

Surat-surat itu sendiri mengungkap tautan hilang setelah insiden di ResPublika yang menjadi pertemuan terakhir Amba dan Bhisma. Di sini, Laksmitak ingin memaksakan "cerita orang ketiga di luar tokoh-tokoh dalamnovelnya" masuk sebagai jembatan untuk tautan hilang itu.

Di luar itu, "Amba" dibangun oleh riset panjang dan imajinasi mengenalbatas sehingga cerita tak berubah irasional atau bahkan mistis.

Ada pesan pencarian kebebasan pada banyak bagian novel ini, tapi pencarianitu setiap kali membentur "kebiasaan" yang tak saja lahir dari praktiksosial, namun juga dikeraskan sebagai dogma, ideologi, bahkan diagamakan.

Novel ini juga memotret kegandrungan pada unsur-unsur baru dari luar yangmelupakan konteks dan esensi sehingga acap mengantarkan pada pemahamanyang tak lengkap seperti tergambar dari isi surat Bhisma kepada kakaknya,Paramita, tentang orang-orang kiri yang ternyata mencampakkan kekritisanyang justru pengawal sosialisme, "...sosialisme tanpa kemerdekaanberekspresi apa jadinya?"


Di sisi lain, kegandrungan pada hal-hal baru dipeluk dengan menolak dendamlama. Laksmi melihat kekerasan 1965-1966 sebagian meletus karena dendamlama ini.

Selain membuat kenaifan menjadi korban terbesarnya, dendam masa silam jugamembuat bangsa ini gagal menyingkapkan apa yang sebenarnya berlaku dankerap dibiarkan memantik konflik-konflik baru di kemudian masa.

"Amba" juga berisi ajakan berekonsiliasi dan jujur kepada masa lalu,selain mempertemukan lokalitas dengan kemoderenan seperti bahan-bahanmasakan yang dipersatukan menjadi satu sajian rasa.

Uniknya, Laksmi adalah penulis kuliner dan dia tak ingin meninggalkanidentitasnya itu tanggal dari novelnya, setidaknya lewat sisipannyatentang masakan pada bagian awal dan akhir cerita novel ini seolahmemesankan bahwa hidup itu tentang masak dan masakan; tentang bahan,racikan, warna dan selera.

Ironisnya, sejarah kerap ditulis menurut warna dan selera; mengenai siapayang mesti di-hitam-kan dan siapa yang harus di-putih-kan.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014