Jakarta (ANTARA News) - DPR meminta agar pengadaan jaringan komunikasi (jarkom) untuk wilayah Nanggroe Aceh Darrusalam (NAD) dan Nias dilaksanakan secara terbuka untuk mencegah terjadinya monopoli dan "mark-up". Semua pengadaan yang berkaitan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD, termasuk pengadaan jaringan komunikasi, harus transparan, karena biayanya berasal dari DIPA tahun anggaran 2005-2006 dan pinjaman dari luar negeri, kata Ketua Komisi VIII DPR, Hasrul Azwar, saat dihubungi di Jakarta, Minggu. Ia menyampaikan hal itu sehubungan adanya dugaan pengadaan sistem komunikasi radio untuk keperluan operasional di lapangan dikuasai salah satu provider, yakni Motorola, di mana sistem itu telah dinilai konvensional (tertutup), sehingga pihak yang mengadakan alat-alat itu hanya tergantung dengan satu vendor. Jarkom degan sistem tertutup yang tergantung dengan satu vendor itu di negara-negara maju sudah ditingalkan dan menuju ke open system yang memberikan pekerjaan kepada banyak vendor. Menurut Hasrul, untuk mencegah penyimpangan, baik dalam pengadaan jaringan komunikasi dan pengadaan barang lainnya, termasuk pengadaan buku, Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR ) perlu segera diaudit, apakah dari BPK atau auditor independen. "Audit itu perlu dilaksanakan terhadap semua pengadaan yang bersumber dari uang DIPA," kata Hasrul. Ia mengingatkan kepada para pelaksana agar lebih terbuka dan hati-hati karena jika prosedurnya dilanggar, mereka akan dikenakan sanksi. "Mestinya para pejabat atau para Pimpinan Proyek sudah belajar dari kasus -kasus sebelumnya yang berakhir pada dampak hukum. Itu sebagai pelajaran penting," katanya. Dalam pelaksanaan Jarkom itu, kata Wakil Ketua Fraksi PPP DPR itu, disinyalir panitia sudah terlebih dahulu mengarahkan kepada salah satu peserta lelang, sehingga banyak pihak yang akan ikut gagal dalam prakualifikasi lelang. Pelaksanaan barang lewat mekanisme lelang harus sesuai dengan Keputusan Presiden No 80 Tahun 2001, namun jika ada hal khusus jangan sampai mengabaikan transparansi. Dikatakannya, wilayah RI, termasuk Aceh Darrusalam, mempunyai geografis yang luas, dan batas luar negara merupakan tugas besar kepolisian untuk menjaga keamanan, kedaulatan dan memberikan kenyamanan yang kepada masyarakat. Dengan tersedianya sarana dan prasarana telekomunikasi, diharapkan tercipta efisiensi serta efektifitas kinerja kepolisian secara optimal. Tidak justru sebaliknya, dengan memilih sistem konvensional yang sulit mengintegrasikan dengan sistem yang lain. Senada dengan itu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Faisal Basri, mengatakan bahwa sebagian pelaksanaan barang untuk rehabilitasi dan rekontruksi NAD-Nias dengan menggunakan dana DIPA sebagian sudah ada yang benar, yakni memberikan prioritas kepada pengusaha daerah. "Saya dengar 80 persen tender dimenangi oleh penguasa lokal, apakah yang punya modal orang Jakarta atau orang lain tidak masalah, yang penting ada pemihakan kepada penguasaha lokal. Tetapi yang sulit saya mengerti adalah adanya keinginan panitia untuk memenangkan salah satu dari peserta tender secara tidak fair," katanya. Menurut Faisal, jika dalam rehabilitasi pembangunan Aceh yang menggunakan dana dari APBN itu menggunakan Kepres penunjukan, jangan sampai mengenyampingkan asas keterbukaan, karena di dalam penunjukan itu juga harus ada pembanding dengan perusahaan sejenis. "Ada beberapa pengusaha yang melakukan protes karena kalah sebelum prakualifikasi dan sulit mendapatkan dokumen tender. Hal-hal seperti itulah yang perlu diperbaiki," kata Faisal. (*)
Copyright © ANTARA 2006