Iklim Jakarta telah berubah signifikan seiring dengan pertumbuhan kota. Hal ini berindikasi terhadap peningkatan suhu permukaan sebesar satu derajat Celsius yang dapat meningkatkan ekstremitas hujan sebesar 14 persenJakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan suhu permukaan Jakarta meningkat signifikan sebesar 1,6 derajat Celsius dalam 130 tahun terakhir akibat perubahan lanskap dari sebelumnya dominan vegetasi tumbuhan menjadi kawasan properti.
Praktisi Cuaca dan Iklim Ekstrem BMKG Siswanto dalam keterangan di Jakarta, Rabu, mengatakan kenaikan suhu permukaan Jakarta lebih kuat dibandingkan laju kenaikan suhu global dan regional.
"Iklim Jakarta telah berubah signifikan seiring dengan pertumbuhan kota. Hal ini berindikasi terhadap peningkatan suhu permukaan sebesar satu derajat Celsius yang dapat meningkatkan ekstremitas hujan sebesar 14 persen," kata Siswanto.
Kenaikan suhu permukaan secara drastis tersebut, lanjutnya, menyebabkan curah hujan ekstrem di Jakarta mengalami tren peningkatan secara signifikan dengan sifat curah hujan yang mengalami perubahan.
Baca juga: BRIN paparkan pemicu fenomena hujan dini hari di Jakarta
Siswanto menjelaskan iklim urban didefinisikan sebagai keadaan iklim yang sangat berbeda dengan wilayah rural sekitarnya. Kondisi itu akibat adanya perkembangan perkotaan.
Salah satu pemicu karakteristiknya iklim urban, kata dia, adalah urbanisasi, perubahan lanskap, serta penggunaan semua properti di dalam perkotaan seperti energi, tata kelola air, dan tata kelola lahan.
Berdasarkan hasil pencitraan satelit Landsat untuk Jakarta pada 1972, imbuh Siswanto, kawasan terbangun di Jakarta masih terbatas dengan vegetasi yang lebih dominan.
Satu dekade kemudian pada tahun 1982, vegetasi masih terlihat dominan hijau. Suhu belum banyak berubah dengan rata-rata 28 derajat Celsius, meskipun suhu maksimumnya bertambah rata-ratanya dari 31,7 derajat Celsius menjadi 32,2 derajat Celsius.
Baca juga: Climate Central laporkan potensi kejadian gelombang panas di Indonesia
15 warsa berselang tepatnya pada tahun 1997, kata dia, warna merah atau kawasan hunian sangat ekspansif mulai terlihat. Perubahan lanskap itu diikuti oleh perubahan suhu udara dari rata-rata menjadi 28,4 derajat Celsius naik sekitar 0,4 derajat Celsius.
Kala itu suhu maksimum tidak banyak perubahan dan suhu minimum malam hari sebesar 25 derajat Celsius.
Pada 2005 perkembangan kawasan hunian Jakarta semakin ekspansif hingga tahun 2014. Kawasan hunian semakin padat tak hanya di dalam Jakarta, tetapi juga sampai keluar batas Jakarta.
“Perubahan lingkungan kompatibel dengan perubahan iklim atau perubahan suhu, dalam hal ini yang terjadi di Jakarta,” kata Siswanto.
Baca juga: BMKG pastikan udara panas yang melanda Indonesia bukan “heatwave”
Setelah VOC masuk sekitar tahun 1755-1785 Jakarta mulai berkembang, gunung-gunung sudah mulai tidak kentara. Tahun 2018 gunung-gunung atau perbukitan yang tadinya terlihat itu sudah menghilang.
"Kita akan terus mengalami perubahan itu, tetapi yang pasti perubahan lanskap dan lingkungan akan menghasilkan konsekuensi, salah satunya konsekuensi terhadap iklim,” ucap Siswanto.
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Albertus Sulaiman mengatakan perubahan suhu permukaan Jakarta memerlukan penanganan serius, terutama para peneliti yang mumpuni dalam sains iklim dan atmosfer.
Baca juga: BMKG sebut 2023 tahun terpanas sejak pra industrialisasi 1850
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024