Jakarta (ANTARA News) - China dengan pertumbuhan anggaran pertahanan dua digit setiap tahun sejak 1989 membuat langkah-langkah yang menyebabkan negara-negara tetangga termasuk Vietnam mempertanyakan komitmennya atas penyelesaian pertikaian secara damai.
Friksi di Laut China Selatan (LCS), salah satu kawasan laut paling penting di dunia, telah meningkat karena China menggunakan kemampuan angkatan laut-nya yang tumbuh untuk mengukuhkan klaim yang luas dan menimbulkan ketakutan militer.
China semakin agresif mengklaim batas-batas territorial dengan negara-negara tetangga di kawasan, di antaranya dengan Jepang di Kepulauan Senkaku. Belakangan ini China semakin asertif di LCS.
Hal yang lebih menggelisahkan lagi karena AL China telah menanam patok-patok yang menggambarkan tanda-tanda kepemilikan di Pulau Paracel dan Spratly yang sebenarnya masih dituntut sebagai wilayah Filipina dan Vietnam. Apalagi setelah Beijing membentuk pemerintahan daerah yang berlokasi di wilayah sengketa.
Hanya Vietnam dan Filipina di antara empat negara anggota perhimpunan bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) yang jelas menentang klaim sepihak China atas LCS.
Vietnam mengaku sebagai negara pertama di dunia yang mengklaim kepemilikan sah atas Kepulauan Hoang Sa dan Truong Sa sedikitnya sejak pemerintahan feudal awal abad ke-17, kemudian ketika di bawah Prancis, Vietnam Selatan hingga Vietnam saat ini.
Negara anggota ASEAN ini secara konsisten menegaskan kedaulatannya termasuk atas kepulauan tersebut dengan memiliki bukti-bukti sejarah dan hukum.
China pertama kali mulai memperselisihkan kepemilikan Kepulauan Hoang Sa pada 1909 ketika mengirim tiga kapal frigat di bawah panglima Laksamana Ly Chuan lewat serangan kilat dan mendaratkan pasukan daratnya di Pulau Phu Lam (Woody). Kemudian pasukannya mundur karena mendapatkan perlawanan dari pasukan ekspedisi Prancis.
Pada 1946, ketika pasukan Jepang dilucuti, Pemerintahan Chiang Kai-sheik (pendiri Pemerintahan Taiwan) mengirim pasukannya untuk mengambil pulau-pulau di bagian timur Hong Sa.
Kemudian Pemerintahan Chiang terusir dari China Daratan. Pasukannya pun mundur dari pulau-pulau itu.
Dengan memanfaatkan kekacauan setelah pasukan Prancis ditarik dari Indochina pada 1956 berdasarkan Perjanjian Jenewa dan tertundanya pengambilan Hoang Sa oleh Pemerintah Vietnam Selatan, RRC mengirim pasukan untuk menguasai pulau-pulau di bagian timur Hoang Sa.
Pada 1974, RRC kembali mengirim pasukan untuk menguasai pulau-pulau yang dikuasai tentara Vietnam Selatan di bagian barat Hoang Sa dengan memanfaatkan kejatuhan pemerintahan Vietnam Selatan dan penarikan pasukan Amerika Serikat dari Vietnam Selatan.
Dalam sejarah, China pertama kali berjuang untuk memberlakukan kedaulatannya atas Kepulauan Truong Sa pada awal 1930-an, dimulai dengan nota diplomatik oleh Menteri China saat itu di Paris kepada Kementerian Luar Negeri Prancis yang menyatakan bahwa Kepulauan Nansha merupakan bagian dari territorial China.
Pada 1946, Pemerintah Chiang di China mengirim bala tentara untuk menguasai Pulau Ba Binh. Pada 1956, Pemerintah Taiwan mengerahkan tentara untuk mengambil pulau itu lagi.
Pada 1988, RRC mengirim pasukan untuk menguasai sejumlah wilayah di baratlaut Truong Sa dan membangun garnisun.
Pada 1995, China mengerahkan tentara untuk menguasai Vanh Khan (Mischief Reef) di bagian tenggara Truang Sa.
Saat itu, China melakukan langkah-langkah untuk menguasai Co May (Second Thomas Shoals) di sudut bagian timur kepulauan itu dekat dengan Mischief Reef.
Pada awal 1974, perang Vietnam memasuki tahap akhir. Amerika Serikat menandatangani Perjanjian Paris pada 27 Januari 1973 dengan mengakui kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial Vietnam.
Washington juga menarik pasukannya dari Vietnam Selatan, yang mencakup penarikan kehadiran Armada Ketujuh AS di Laut Timur.
Dengan memanfaatkan peluang ini, RRC mengerahkan pasukan, AL, AU dan marinir untuk menyerang dan menguasai bagian barat Hoang Sa dari AL Vietnam Selatan.
Pertiakaian atas kepemilikan kepulauan tersebut berlanjut hingga kini. Tetapi Pemerintah Vietnam tetap pada klaimnya sesuai pernyataan pada 14 Februari 1974, yang menegaskan kembali kedaulatannya atas Kepulauan Hoang Sa dan Truong Sa.
Presiden Truang Tan Sang dalam kunjungannya ke Washington tahun lalu menegaskan penentangan keras terhadap klaim China di LCS sekaligus menolak usaha Filipina untuk mengajukan masalah itu ke pengadilan PBB.
Dia menolak apa yang disebut "sembilan garis batas" dasar bagi China mengklaim seluruh laut strategis itu termasuk pulau-pulau yang dekat dengan negara tetangga.
"Kami tidak dapat menemukan landasan hukum atau dasar ilmiah atas klaim seperti itu dan karena itu telah menjadi kebijakan konsisten Vietnam menentang rencana Sembilan garis batas oleh China itu," kata Truong, dalam forum yang digelar Center for Strategic and International Studies (CSIS), seperti dilansir berbagai media.
Penyelesaian atas wilayah-wilayah yang dipersengekatakan, bagi Vietnam khususnya kedaulatan atas Kepulauan Hoang Sa dan Truong Sa, dirasakan sulit dan kompleks.
Negara ini menghendaki semua pihak menghormati prinsip-prinsip fundamental Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) dan juga tata berperilaku (COC) bagi LCS, yang masih dibahas ASEAN dan RRC menggantikan Declaration of Conduct (DOC), untuk mencegah berbagai insiden di masa depan.
Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014