Untuk terapi obat biayanya sangat mahal, yakni yang berbentuk tablet seharga Rp65 ribu/butir, terapi biomedis dan terapi cognitif yang biayanya mencapai Rp90 ribu untuk satu kali pertemuan,"
Malang (ANTARA News) - Tiga mahasiswa Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, menciptakan permainan bagi para penderita "attention deficit hyperactive disorder" atau autis.
Salah seorang mahasiswa tersebut Ika Kusumaning Putri di Malang, Sabtu mengemukakan permainan yang diberi nama "Application Game Therapy Attention Deficit Hyperactive Disorder" (AGTA) itu sebagai alternatif terapi bagi penderita autis.
"Untuk terapi obat biayanya sangat mahal, yakni yang berbentuk tablet seharga Rp65 ribu/butir, terapi biomedis dan terapi cognitif yang biayanya mencapai Rp90 ribu untuk satu kali pertemuan," katanya.
Selain Ika Kusumaning Putri, dua mahasiswa Program Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer (PTIIK) lainnya yang terlibat dalam penelitian tersebut adalah Hanas Subakti dan Dwi Hardyanto yang didampingi oleh dosen pembimbing Eriq Muhammad Adams Joemaro.
Lebih lanjut Ika mengatakan AGTA dirancang khusus bagi anak penderita autis. Autis merupakan gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik yang kebanyakan diderita oleh anak-anak.
Gejala yang sering ditunjukkan oleh penderita ADHD itu antara lain kesulitan untuk memusatkan perhatian dan kebiasaan hiperaktif (perilaku yang tidak bisa diam). "Menurut terapis yang kami temui saat riset pembuatan game AGTA ini, biasanya penderita autis ini tidak dapat duduk diam dan fokus pada suatu hal meski hanya dalam waktu 1 menit," kata Ika.
Ia mengakui mahalnya berbagai terapi untuk penanganan penderita autis ini, tim Raions Head tergerak untuk membuat sebuah aplikasi permainan yang dapat dimanfaatkan juga sebagai terapi.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk terapi autis tersebut, kata Ika, sangat mahal dan itu pun belum termasuk biaya untuk terapi yang harus rutin dilakukan. Dengan AGTA, biaya yang harus dikeluarkan hanya sekitar Rp1,5 juta untuk pembelian alat sensor gerak kinect dan dapat digunakan untuk jangka panjang.
Ia mengemukakan ada tiga pilihan permainan yang disajikan pada AGTA, yakni "catch the jellyfish", "falling party" dan "go fishing". Pada permaianan "catch the jellyfish", pemain harus menangkap ubur-ubur yang lewat dengan menggunakan tangan kanannya saja.
Sedangkan permainan kedua "falling party" mengharuskan pemain menggerakkan kedua tangan kiri dan kanan untuk menangkap berbagai ikan yang jatuh dari arah atas. Sementara permainan ketiga, "go fishing", pemain harus memilih satu ikan yang warnanya sesuai dengan perintah yang diberikan sistem.
Selain dapat melatih konsentrasi dan fokus anak, kata Ika, permainan ini juga dapat melatih perkembangan kognitif mereka.
Menyinggung rencana ke depan terkait temuannya itu, Ika mengatakan permainan ini akan dikembangkan untuk tujuan sosial, terutama bagi sekolah-sekolah anak berkebutuhan khusus atau perorangan yang memang membutuhkan.
Saat ini, lanjutnya, permainan AGTA sudah mulai diterapkan di sekolah berkebutuhan khusus yang ada di Kota Malang. "Kami sudah pernah menerapkan di salah satu sekolah berkebutuhan khusus zero five dan responnya sangat bagus," kata mahasiswa lainnya, Hanas.
AGTA yang diusung oleh tiga mahasiswa yang tergabung dalam Raions Head itu berhasil meraih medali emas dalam kategori permainan di ajang kompetisi Gemastik 6. Pada kompetisi yang diselenggarakan di Bandung itu, AGTA mampu menyisihkan sembilan karya game finalis lainnya dari berbagai universitas di Indonesia.
(E009/M026)
Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014