Baghdad (ANTARA) - Di saat kebanyakan anak di seluruh dunia merayakan Hari Anak Internasional pada Sabtu (1/6), anak-anak di Irak masih berjuang untuk terlepas dari dampak kekerasan, pengungsian, dan terorisme yang melanda negara itu setelah invasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) pada 2003.
Di antara mereka adalah Hathal Sabbar (10), yang dibesarkan di Kota al-Dhuluiya, Baghdad utara
Pada 2011, setelah invasi militer selama bertahun-tahun, AS dengan buru-buru menarik diri dari Irak. Memanfaatkan kekosongan keamanan yang terjadi, kelompok ekstremis ISIS berkembang dengan cepat dan menguasai sebagian besar wilayah Irak, termasuk Provinsi Salahudin, tempat tinggal Sabbar.
"Para teroris ISIS menyerang kami di dalam rumah setelah matahari terbenam dan membawa pergi ketiga anak laki-laki saya. Sebelum itu, mereka membunuh ayah Sabbar," kata Shallal al-Shammari, kakek Sabbar.
Tak lama kemudian, ibunya juga meninggalkan rumah yang hancur ini. Sejak saat itu, Sabbar tinggal bersama kakeknya yang berusia lebih dari 80 tahun, para janda dari tiga pamannya, dan tujuh sepupunya yang lebih muda.
Untuk membantu menghidupi keluarga, anak yang kini duduk di kelas tiga sekolah dasar itu harus menghabiskan waktu luangnya dengan menggembalakan domba.
Pada 2016, setelah pertempuran sengit selama lebih dari dua tahun, pasukan Irak berhasil membebaskan Provinsi Salahudin dari militan ISIS. Namun, mereka yang menjadi korban kekejaman kelompok tersebut terus dihantui oleh pengalaman tragis itu.
Sabbar masih mengalami gangguan tidur dan sering terbangun karena ketakutan di malam hari, sambil berteriak-teriak: "Ada militan ISIS yang mendatangi kita," ujar al-Shammari.
Para psikolog telah memperhatikan bahwa di Irak, kekerasan berdarah, pengungsian, perpecahan sosial, dan krisis politik selama bertahun-tahun telah menimbulkan dampak fisik dan emosional yang sangat besar bagi anak-anak.
"Gambaran kehancuran yang mengerikan, mayat yang hancur berserakan di jalan-jalan, dan bayangan pembunuhan anggota keluarga, kerabat, dan teman mereka akan tetap tertanam di benak anak-anak Irak ... dan meninggalkan jejak psikologis negatif pada perilaku mereka di masa depan," ujar Maher Abbas, seorang dokter di Baghdad, kepada Xinhua.
Hussein Mohammed, seorang aktivis sosial yang bekerja untuk Tim Sukarelawan al-Dhuluiya yang merawat anak yatim piatu dan keluarga yang membutuhkan, mengatakan kepada Xinhua bahwa trauma psikologis yang dialami oleh anak-anak ini sering kali berlangsung selama bertahun-tahun
"Kami telah melihat banyak kasus anak-anak yang dihantui teror seperti mengalami mimpi buruk dan masalah psikologis lainnya, karena mereka melihat para militan ISIS menculik anggota keluarga mereka dan bahkan membunuh mereka," ungkap Mohammed.
"Kami berupaya maksimal untuk membantu anak-anak tersebut, tetapi saya tetap tidak melihat adanya solusi yang komprehensif untuk melindungi anak-anak Irak tanpa adanya lingkungan politik dan sosial yang stabil, yang sangat penting untuk mencapai kemajuan dalam perlindungan anak," tambah aktivis sosial itu.
Kendati hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian terkait masa depan, Sabbar mengatakan bahwa dia masih memiliki impian.
"Saya ingin menjadi pilot. Saya harap impian saya akan terwujud," tutur Sabbar kepada Xinhua.
Pewarta: Xinhua
Editor: Citro Atmoko
Copyright © ANTARA 2024