Yogyakarta (ANTARA) - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan bahwa memperingati hari lahir Pancasila perlu menekankan komitmen aktualisasi kelima silanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata.

"Jika Soekarno menyebutkan Pancasila sebagai 'philosopische grondslag' (dasar filosofis) atau 'weltanschauung' (pandangan dunia) maka dasar negara tersebut harus menjadi fondasi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara secara struktural, artinya betul-betul dijadikan nilai penting yang menjiwai dan sekaligus pemikiran mendasar dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan bernegara," kata Haedar dalam keterangannya di Yogyakarta, Sabtu.

Sesuai nilai Pancasila pada sila pertama, dia mengatakan bangsa Indonesia harus benar-benar menjalani kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Nilai keyakinan ketuhanan itu dikembalikan pada agama masing-masing yang dianut warga bangsa, sehingga tidak menjadi bangsa yang antiagama (agnostik), antituhan (ateis), dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan," kata Haedar.

Bernegara pun, kata dia, harus mengindahkan nilai atau ajaran agama, karena dalam pasal 29 UUD 1945 agama diakui keberadaannya oleh konstitusi, bahkan menurut Soekarno Negara Indonesia itu sendiri harus bertuhan.

"Indonesia bukan negara agama, tetapi jangan menjadi negara sekuler yang menjauhi, menegasikan, dan memusuhi agama. Para penyelenggara dan pejabat negara wajib beragama dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya," ujar Haedar.

Dia mengatakan dalam mengurus negara harus takut kepada Tuhan dengan tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk apapun, serta tidak sekehendaknya dalam mengurus negara dan berbangsa.

"Negara dan pejabat maupun elite negeri harus bersendikan pada nilai kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai kemanusiaan, keadilan,dan keadaban mesti dijunjung tinggi, ditegakkan, serta dipraktikkan dalam berbangsa dan bernegara," kata dia.

Selanjutnya, Haedar menyatakan bahwa sila Persatuan Indonesia juga harus diwujudkan dalam kehidupan nyata berbangsa bernegara dan jangan jadi slogan semata.

Menurut dia, aktualisasi persatuan jangan hanya ketika sejalan dan mendukung kepentingan serta golongan sendiri, menyangkut urusan dan kepentingan sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, partai sendiri kemudian mengorbankan pihak lain sesama komponen bangsa.

"Pihak yang mendukung dirangkul dan dimanjakan dengan segala keistimewaan, sebaliknya yang kritis atau tidak mendukung dipukul dan disisihkan atau dipinggirkan," kata dia.

Sila keempat, kata dia, sama pentingnya dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam berpolitik dan berdemokrasi.

“Para aktor baik institusi maupun elitenya terbiasa pragmatis dan oportunistik, demi meraih dan mewujudkan kepentingannya. Apa saja dihalalkan, termasuk mengakali konstitusi dan peraturan. Hukum pun disalahgunakan dan disiasati demi kepentingan politik sesaat. Warga bangsa pun terbiasa pragmatis dan oportunistik, karenanya politik dan demokrasi Indonesia kehilangan jiwa hikmah-kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan," kata Haedar.

Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menurut dia, lebih telantar karena pihak yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan akses dalam bernegara makin menguasai Indonesia, sementara mayoritas rakyat yang lemah makin terlemahkan.

"Kesenjangan sosial dan kemiskinan masih menjadi realitas di negeri ini. Sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi makin menjerat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Republik ini," kata Haedar.

Haedar mengatakan bahwa berbagai slogan, retorika, dan jargon menawan tentang Pancasila akan kehilangan sukma jika tidak disertai komitmen sistem dan manusianya untuk mewujudkan kelima sila Pancasila dalam berbangsa-bernegara.

Dia berharap Pancasila jangan sampai hanya menjadi retorika dan teori utopia yang mengawang di angkasa, namun kehilangan pijakan dan bukti nyata di bumi Indonesia, serta jadi kemegahan simbol tanpa makna.

Seluruh pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dan institusi pemerintahan maupun komponen bangsa lainnya, kata dia, wajib hukumnya ber-Pancasila dalam kehidupan nyata.

"Itulah Pancasila kata kerja, bukan Pancasila kata benda. Pancasila yang akan menjadikan Indonesia jaya menuju cita-cita yang ditorehkan para pendiri negara," ujar dia.

Baca juga: Presiden minta sosialisasi Pancasila dilakukan dengan cara kekinian

Baca juga: Jokowi: Pancasila pembebas dari ketergantungan terhadap pihak asing

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024