Khartoum (ANTARA) - Lantaran tidak bisa bersekolah selama lebih dari setahun, Ahmed Adam, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun yang tinggal di bagian selatan Khartoum, ibu kota Sudan, mengatakan dia hidup dibayangi ketakutan tak berkesudahan akibat konflik sipil yang berkepanjangan.
"Suara letusan senjata api dan tembakan meriam terdengar setiap hari," kata Adam. "Saya dan saudara laki-laki saya harus bersembunyi di bawah tempat tidur atau di dalam lemari," keluhnya.
Konflik yang sedang berlangsung antara Angkatan Bersenjata Sudan (Sudanese Armed Forces/SAF) dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) telah menyebabkan anak-anak Sudan terpapar pada berbagai bentuk kekerasan serta membuat mereka kehilangan rumah dan pendidikan, sehingga menimbulkan trauma bagi generasi tersebut.
Ehab Hashim, ayah tiga anak yang tinggal di kawasan permukiman Mujahidin di Khartoum selatan, mengatakan kepada Xinhua bahwa anak-anaknya telah menunjukkan tanda-tanda gangguan psikologis akibat konflik tersebut.
"Setiap kali mendengar suara meriam atau pesawat tempur, anak-anak saya akan berteriak dan bersembunyi di bawah tempat tidur dan kursi," katanya.
Putra sulungnya yang berusia 11 tahun, Amr, menderita inkontinensia urine (urinary incontinence), "sebuah tanda gangguan psikologis akibat ketakutan dan kecemasan," ujarnya, sembari menyatakan bahwa dirinya secara serius mempertimbangkan untuk pindah ke daerah-daerah aman di Sudan, karena dia tidak tahan lagi melihat anak-anaknya mengalami kepanikan.
Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sudan sedang menghadapi krisis pengungsian anak terbesar di dunia, yang melibatkan lebih dari 4 juta anak.
Abdul Qadir Abdullah Abu, sekretaris jenderal Dewan Kesejahteraan Anak Nasional di Sudan, mengatakan bahwa anak-anak merupakan yang paling terdampak dari terganggunya pendidikan, kurangnya layanan kesehatan, pengungsian, malanutrisi, dan perekrutan paksa, seraya menyebutkan bahwa statistik menunjukkan RSF telah merekrut sekitar 15.000 anak di wilayah yang dikuasainya.
Sementara itu, sejumlah besar anak-anak yang mencari perlindungan di luar negeri juga mengalami trauma dan kondisi kehidupan yang buruk, kata para ahli.
Sadiya al-Rasheed, seorang aktivis yang bekerja di sebuah kamp pengungsi Sudan di Adre, Chad, di perbatasan dengan Sudan, mengatakan kondisi anak-anak di kamp tersebut "sangat tragis."
"Anak-anak mengungsi di sini menyusul pembantaian di El Geneina, ibu kota Negara Bagian Darfur Barat, tetapi sayangnya, kamp itu bukanlah tempat yang aman bagi mereka," ungkapnya.
"Anak-anak paling menderita akibat pertempuran tersebut. Mereka mengungsi dari lingkungan, rumah, dan sekolah yang mereka kenal serta dihantui oleh trauma psikologis karena kengerian yang mereka lihat dan alami," ujar al-Rasheed.
"Sejumlah besar anak-anak dihantui ketakutan dan mimpi buruk, sehingga memerlukan dukungan keluarga atau perawatan khusus di institusi khusus," kata Abdullah Yaqoub, seorang psikiater.
Selain itu, 90 persen lebih dari 19 juta anak usia sekolah di Sudan tidak memiliki akses untuk mendapatkan pendidikan formal, yang dapat mengakibatkan krisis generasi, menurut Dana Anak-Anak PBB.
Sejak konflik antara SAF dan RSF pecah pada 15 April 2023 lalu, pertempuran mematikan itu telah menewaskan 15.550 orang dan memaksa 8,8 juta lainnya mengungsi sejauh ini, papar sebuah laporan terbaru oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA).
Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024