Jakarta (ANTARA) - Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Tjandra Yoga Aditama mengusulkan sejumlah langkah konkret yang dapat dilakukan guna melindungi generasi muda dari bahaya rokok.

Dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat, ia mengutip Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus yang mengatakan bahwa pemakaian tembakau sudah turun di 150 negara, sedangkan jumlah perokok secara global turun 19 juta dibandingkan dengan dua tahun lalu.

Sayangnya, kata dia, di Indonesia, jumlah perokok aktif di Indonesia malah melebihi 70 juta orang dengan mayoritas anak muda.

Dia mengatakan ada pertumbuhan jumlah perokok aktif di Indonesia.

Oleh karena itu, dia menyebutkan, sejumlah hal yang dapat dilakukan guna melindungi generasi muda dari rokok, yang pertama memperluas kawasan tanpa rokok.

"Kita tahu sekolah dan perguruan tinggi memang tidak boleh merokok, tapi jangan sampai sekolah nggak boleh merokok, tapi di luar bagian sekolah ada penjual rokok," ujarnya.

Selain itu, katanya, mendorong mahasiswa agar membujuk anggota keluarga untuk berhenti merokok.

Dalam beberapa kejadian, katanya, bapak-bapak mau berhenti merokok kalau yang meminta anak atau cucunya.

Selain itu, katanya, memasukkan kurikulum tentang bahaya merokok di sekolah dan perguruan tinggi.

Baca juga: IDAI: Akses ke rokok bagi anak-anak perlu dipersulit

Sebagai contoh, katanya, sebagai bagian dari tri dharma perguruan tinggi, mahasiswa diminta membuat penelitian tentang merokok.

Dia menambahkan cara lain berupa perluasan layanan untuk berhenti merokok.

Menurut dia, sudah banyak pelayanan untuk berhenti merokok di klinik, namun masih kurang digaungkan sehingga perlu dipromosikan lebih banyak.

Tjandra mencontohkan membuat kontes kecil-kecilan di mana siswa atau mahasiswa mengunggah anjuran berhenti merokok ke media sosialnya, dan unggahan dengan like terbanyak mendapat hadiah berupa uang saku.

"Nah, di media sosial ini jadi penting juga, jadi penting bukan hanya untuk menjelaskan bahaya merokok, tapi juga untuk melawan kegiatan pemasaran. Karena sekarang, tadi sudah disebut juga bahwa industri merokok itu menggunakan berbagai platform digital untuk mengiklankan," katanya.

Menurut dia, perlu ada pengetatan penjualan serta produk tembakau pada generasi muda, misalnya membatasi pembelian hanya untuk umur 21 tahun ke atas dan melarang penjualan rokok batangan.

"Dan cukai dan harga harus ditingkatkan, ini akan memengaruhi generasi muda, dan juga devisa negara tetap cukup, karena cukainya tinggi, tapi anak-anak dan generasi muda lebih sulit membeli merokok," kata dia.

Yang terakhir, katanya, mengatur iklan, promosi, dan sponsor rokok secara ketat, mengingat banyak anak yang merokok karena melihat hal-hal itu.

"Dengan program pengendalian bahaya merokok yang sistematis, terukur, dan dengan peta jalan yang jelas, maka kita dapat mencapai derajat kesehatan yang diinginkan untuk mencapai Indonesia Emas 2045," katanya.

Baca juga: Peneliti: Perlu strategi komunikasi atasi masalah merokok
Baca juga: Pakar: Pemerintah perlu tiru cara Eropa dalam tangani kecanduan rokok
Baca juga: Misinformasi tembakau alternatif hambat penurunan prevalensi merokok

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024