Tapi masalahnya pemerintah kita sangat ramah terhadap industri tembakau

Jakarta (ANTARA) - National Professional Officer for Tobacco Free Initiative WHO Indonesia Ridhwan Fauzi mengatakan Indonesia punya peluang untuk mengatur pengendalian tembakau yang lebih tegas untuk melindungi anak-anak, seperti dicontohkan oleh sejumlah negara melalui praktik terbaiknya dalam membuat regulasi pengendalian tembakau yang kuat.

Dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis, dia mencontohkan Thailand yang memiliki BUMN tembakau namun bisa membuat regulasi pengendalian tembakau yang kuat. Menurut Ridhwan, Indonesia seharusnya bisa meniru hal yang baik tersebut untuk melindungi kesehatan anak Indonesia.

"Tapi masalahnya pemerintah kita sangat ramah terhadap industri tembakau," kata Ridhwan.

“Di Indonesia, dimana perusahaan rokok dimiliki penuh oleh swasta, tapi kita sangat ketinggalan dalam regulasi pengendalian tembakau dan dalam penanganan konflik kepentingan antara industri tembakau dan upaya perlindungan kesehatan masyarakat,” katanya.

Dalam pernyataan yang sama Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mengatakan upaya perlindungan anak dari rokok masih tidak terlihat, karena mereka masih diintervensi oleh industri tembakau melalui promosi rokok yang masih pada berbagai media.

Baca juga: WHO: UU Kesehatan peluang RI tindak tegas industri rokok

Lisda mengatakan gempuran paparan iklan dan promosi rokok pada media konvensional dan media sosial mempengaruhi anak untuk ingin tahu lebih banyak tentang rokok serta mencobanya. Padahal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) pada 26 Januari 1990, yang disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.

"Dengan meratifikasi KHA, negara punya kewajiban melindungi anak dari informasi dan materi yang dapat membahayakan kesejahteraannya. Ini berdasarkan Pasal 17 dan 36 KHA, berupa kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala kegiatan yang mengambil keuntungan dari mereka atau dapat membahayakan kesejahteraan dan perkembangan mereka," katanya.

Bahkan, lanjutnya, tidak hanya anak yang rentan diintervensi oleh industri tembakau, namun ada fakta lembaga turut diintervensi industri rokok sebagai bagian dari lobi, agar regulasi pengendalian tembakau yang sedang dibuat tidak merugikan kepentingan industri itu.

Dia mencontohkan, menurut laporan tahun 2018 dari National Library of Medicine UNICEF, yang mengawasi implementasi KHA didekati oleh industri tembakau dengan memposisikan dirinya sebagai mitra yang ingin membantu dan terlibat dalam upaya pencegahan merokok remaja.

Baca juga: IDAI: Akses ke rokok bagi anak-anak perlu dipersulit

Dalam pernyataan yang sama, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) Mouhamad Bigwanto mengatakan industri tembakau masih menggunakan berbagai taktik untuk mempengaruhi kebijakan publik demi melindungi kepentingannya.

"Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih membolehkan iklan rokok secara langsung di media penyiaran. Kondisi ini terjadi karena adanya campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan aturan pengendalian tembakau, dan di sisi lain pemerintah sangat lemah merespon campur tangan tersebut,” katanya.

Bigwanto menambahkan salah satu masalah disebabkan sikap pemerintah yang masih menganggap industri tembakau adalah industri yang normal, sehingga tidak ada peraturan untuk membatasi kerja sama dengan industri tembakau.

"Kalau mengacu kepada Konvensi Hak Anak, pemerintah semestinya harus lebih berani menolak campur tangan industri tembakau dalam proses pembuatan kebijakan. Sebab kepentingan industri yang berorientasi pada profit, sampai kapanpun tidak akan pernah sejalan dengan tujuan kesehatan, yaitu melindungi generasi masa depan dari zat adiktif nikotin,” ungkapnya.

Baca juga: WHO sebut peningkatan konsumsi rokok di RI mengancam generasi muda

Baca juga: Pakar nilai pasal terkait tembakau harus dipisah dari RPP Kesehatan

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024