Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan pengetahuan lokal berbasis kearifan kelompok masyarakat adat menjadi kunci untuk memperkuat penerapan teknologi mitigasi bencana alam di Indonesia.

Ketua Kelompok Riset Ekologi, Mitigasi Bencana BRIN Fakhriati mengungkapkan bahwa pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun oleh masyarakat adat seperti di Bali, Minangkabau (Sumatera Barat), dan Sunda (Jawa Barat) memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana alam.

"Berdasarkan penelitian masyarakat adat memiliki sistem komunikasi segitiga yang efektif dalam menghadapi bencana," kata Fakhriati dalam webinar bertajuk "Kebencanaan dan Pengetahuan Lokal" yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) BRIN di Jakarta, Rabu.

Ia memaparkan, sistem komunikasi segitiga ini menghubungkan Tuhan, Alam, dan Manusia, memuat berbagai pedoman dan tanda-tanda alam yang dapat membantu masyarakat dalam memprediksi dan merespons bencana.

Misalnya di Bali, ada sistem tata pengelolaan air di Jatiluwih hingga terdapat aturan evakuasi berdasarkan durasi getaran gempa dan ketinggian tempat tinggal.

Rumusannya ketika gempa 20 detik tidak usah panik, namun bila lebih dari 20 detik harus segera evakuasi, khususnya bagi yang dekat laut harus lari ke ketinggian 20 meter.

Menurutnya, pengetahuan lokal tersebut tertuang dalam manuskrip, tradisi lisan, dan cerita rakyat di Bali berupa Rogha Shangara Bumi. Hal demikian selaras dengan apa yang dirumuskan oleh ahli Geo-sains, Ron Harris (peneliti gempa bumi dan tsunami Amerika Serikat).

"Atau yang dilakukan masyarakat
Minang menolak bala, dengan penokohan
yang ​​​membangun kesadaran dalam kebaikan dan keburukan dari tindakan yang sudah di lakukan," ujarnya.

Oleh karena itu, periset BRIN menilai pengetahuan lokal perlu dikaji lebih lanjut dan diintegrasikan dengan teknologi modern untuk menghasilkan sistem mitigasi bencana yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

"Yang perlu digarisbawahi pengetahuan lokal ini bukan untuk menggantikan teknologi tetapi justru untuk melengkapi nya dan memperkuat nya," kata dia.

Ia memastikan, BRIN melalui Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan berkomitmen untuk terus menggali dan melestarikan pengetahuan lokal sebagai sumber daya penting dalam pengurangan risiko bencana.

Penerapan pengetahuan lokal dalam mitigasi bencana memiliki beberapa manfaat di antaranya; meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, membantu dalam pengambilan keputusan saat terjadi bencana, mempercepat proses evakuasi dan penyelamatan, meminimalisir korban jiwa dan kerusakan akibat bencana, memperkuat rasa gotong royong dan kepedulian antar masyarakat.

Dengan kolaborasi antara akademisi, peneliti, pemerintah, dan masyarakat adat, diharapkan pengetahuan lokal dapat dioptimalkan untuk membangun Indonesia yang lebih tanggap dan tangguh terhadap bencana.

Sebagaimana yang sedang dilakukan saat ini dalam upaya penangan dampak dan mitigasi bencana banjir bandang bercampur material lahar dingin Gunung Marapi, Sumatera Barat, yang pekan lalu menimbulkan dampak kerusakan cukup besar Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Padang Panjang.

Pemerintah mengadopsi pengetahuan lokal berbasis kelompok masyarakat; melibatkan tokoh atau pemuka adat ​​​​​​dalam upaya early warning system (ESW) berbasis teknologi pada aliran sungai berhulu Gunung Marapi, penerapan teknologi modifikasi cuaca,​​​​​​​ pembangunan bendungan Sabo Dam dan seterusnya.

Baca juga: Petani perlu mitigasi bencana agar tak larut dalam kerugian
Baca juga: UNESCO dorong mitigasi dan adaptasi dalam bantu tangani bencana
Baca juga: Menhan Prabowo ingatkan semua pihak perkuat mitigasi kebencanaan

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024