Saat itu Gus Dur bilang, kalau secara hukum tidak sesuai tolak saja."

Pandeglang (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD mengaku pernah menolak bertemu kiai asal Pandeglang, Banten, untuk menjaga independensi hakim konstitusi.

"Tahun 2011 Pimpinan Pondok Pesantren Raudatul Ulum Abuya Muhtadi Dimyati datang ke MK, dan menulis di buku tamu keperluannya bertemu saya terkait Pilkada Banten, tentu saja ditolak," katanya di Pesantren Raudatul Ulum, Pandeglang, Banten, Senin.

Pernyataan Mahfud itu mengemuka saat mengunjungi KH Abuya Muhtadi Dimyati di Pesantren Raudatul Ulum, Kampung Cidahu, Desa Tanah Gara, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Mahfud mengatakan, secara etika seorang hakim konstitusi tidak bisa menemui orang berperkara atau wakil orang yang berperkara untuk menjaga independensi MK sebagai penegak konstitusi.

"Kejadian itu bulan September 2011, melaporkan terkait dugaan kecurangan di Pilkada Banten," ujarnya.

Mahfud menilai, dalam menegakkan etika hakim dirinya harus mengesampingkan kepatuhan kepada para kiai.

Dia menjelaskan, ketika menjadi Ketua MK pernah menolak gugatan dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden RI periode 2009-2011 yang notabene adalah gurunya, terkait Undang-Undang penodaan agama.

"Saat itu Gus Dur bilang, kalau secara hukum tidak sesuai tolak saja. Saya menilai gugatan itu tidak sesuai hukum dan akhirnya ditolak," ungkapnya.

Menanggapi pernyataan Mahfud, KH Abuya Muhtadi pun mengatakan bahwa dirinya dulu sebenarnya ingin bersilaturahmi dengan Mahfud MD, sekaligus menceritakan permasalahan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) Banten.

Namun, Abuya memahami posisi Mahfud MD saat itu sebagai Ketua MK, meskipun dirinya ditolak bertemu pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, itu.

"Saya memahami posisi Mahfud saat itu, meskipun saya harus menunggu di depan Gedung MK," ujarnya.

Abuya pun menyambut positif langkah Mahfud MD menjadi bakal calon presiden karena sosok yang mampu mengatasi masalah bangsa.

Secara luas, ia menambahkan, menginginkan kader-kader Nahdatul Ulama (NU) menempati posisi strategis di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. (*)

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014