Jakarta (ANTARA News) - Kerugian yang diderita oleh Pertamina bisa jadi bukan karena tindakan koruptif, melainkan karena tindakan inefisiensi dalam memulai suatu bisnis baru atau keputusan bisnis (business judgement), kata Guru Besar Ilmu Hukum FHUI Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Senin.
"Dalam dunia bisnis bisa saja untuk memulai suatu kegiatan bisnis di awal akan menderita kerugian. Namun dengan berjalannya bisnis tersebut maka kegiatan tersebut akan memberi keuntungan, bahkan semakin efisien," katanya menanggapi kisruh kenaikan harga elpiji 12 kg
Karena itu, katanya, pertemuan sejumlah menteri dan Pertamina dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi penting.
"Bagaimana sikap BPK terhadap kerugian BUMN? Apakah tetap menjadi kerugian negara atau tidak? Ujungnya kesejahteraan rakyat yang harus menjadi pertimbangan semua," katanya.
Hikmahanto mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Minggu sore (5/1) mengungkap kenaikan harga elpiji 12 kg didorong oleh hasil audit BPK. Berdasarkan audit tersebut BPK menemukan kerugian sebesar Rp7,7 triliun di Pertamina dalam bisnis elpiji 12 kg.
Pertamina melalui RUPS berupaya menutup kerugian itu dengan cara menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar 68 persen. Tindakan Pertamina ini diduga karena kekhawatiran manajemen untuk dibawa ke ranah pidana oleh aparat penegak hukum.
Menurut dia, ini disebabkan oleh masalah klasik bahwa uang BUMN, dalam hal ini Pertamina, adalah uang negara. Menurut Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara maka keuangan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Kerugian negara
Dengan demikian kerugian Rp7,7 triliun yang diindikasikan oleh BPK di Pertamina itu dapat dianggap sebagai kerugian negara.
Ia menambahkan, menurut Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara" dapat dipidana.
Dalam rumusan pasal tersebut dirujuk istilah keuangan negara yang dalam penjelasan umum dari UU Tipikor disebutkan bahwa, "Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan".
Karena itu, katanya, tidak heran bila temuan kerugian oleh BPK disikapi oleh manajemen Pertamina untuk menutup kerugian tersebut melalui kenaikan harga.
Lebih repot lagi, katanya, dalam rumusan pasal 2 UU Tipikor tidak ada kata "dengan sengaja". Kata "dengan sengaja" dalam hukum pidana sangat penting. Kata ini yang membedakan perbuatan jahat yang didasarkan pada suatu niat jahat dan yang tidak berdasarkan suatu niat jahat.
Dalam pengelolaan keuangan negara yang seharusnya masuk dalam tindak pidana korupsi adalah kerugian negara yang sejak awal "diniatkan" untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
Bila kerugian negara tidak "diniatkan" secara jahat karena tindakan mala administrasi, atau dalam BUMN merupakan tindakan bisnis atau komersial maka tidak seharusnya masuk dalam tindak pidana korupsi.
Bagi manajemen BUMN, menurut dia, adalah tidak adil bila tindakan korporat layaknya perusahaan swasta, yang karena keputusan bisnis berakibat pada suatu kerugian lalu harus dituduh melakukan tindak pidana korupsi.
Dikatakannya, siapa pun tidak mau dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan harus mendekam dipenjara bila tidak pernah ada "niat jahat" untuk merampok uang negara ataupun BUMN.
"Tidak heran bila Presiden memberi dalam ultimatum kepada Pertamina untuk meninjau "harga" kenaikan elpiji dalam waktu 1x24 jam disertai kata-kata "dengan memperhatikan ketentuan undang-undang. Ini karena Presiden pun tidak mau dituduh menjadi pihak yang mendorong Pertamina untuk melakukan tindak pidana korupsi," katanya.
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014