Jakarta (ANTARA) - Tim ahli klinis TBC RSUD Cilincing dr. Agung Prasetyo Sp.P mengungkapkan bahwa seseorang yang tak pernah terkena tuberkulosis (TB) sebelumnya masih bisa berisiko terkena TB resisten obat (RO) akibat riwayat kontak dengan pasien TB RO.
Menurut Agung, selain riwayat penularan, penyebab lainnya seseorang bisa terkena TB RO, yakni pengobatan TB SO yang tak sampai tuntas dan mengalami gangguan dalam penyerapan obat TB.
Baca juga: Sudinkes Jaksel bentuk kampung siaga untuk tanggulangi TBC
Pasien TB SO masih bisa mendapatkan terapi dengan pengobatan selama enam bulan. Sementara pada TB RO, pengobatannya lebih lama, yakni 9 bulan atau 18 bulan yang bergantung pada kondisi klinis masing-masing pasien.
Namun, saat ini terdapat pengobatan untuk pasien TB RO yang lebih cepat, yakni selama enam bulan.
Merujuk Kementerian Kesehatan, pengobatan ini, yakni BPaL dan BPaLM (bedaquiline, pretomanid, linezolid dan moksifloksasin) atau dikenal sebagai regimen oral jangka pendek TB RO yang membantu mempersingkat pengobatan jangka pendek TB RO menjadi enam bulan.
Sebelumnya, pengobatan jangka pendek untuk pasien TB RO berdurasi 9-11 bulan dan menggunakan suntikan.
Baca juga: Jakarta Pusat rampungkan bedah rumah pasien TBC di tiga kecamatan
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat Indonesia sebelumnya bisa mendeteksi kasus TB sebanyak 400-500 ribu, lalu turun menjadi sekitar 300 ribu selama pandemi COVID-19.
Namun pada tahun 2022, deteksi kasus naik menjadi 700 ribu dan 800 ribu kasus pada tahun 2023.
Indonesia masih terus berkomitmen untuk meningkatkan jumlah kasus yang dilaporkan hingga menjadi 900 ribu dari 1 juta perkiraan kasus TB pada tahun 2024.
Indonesia juga berkomitmen menyediakan pengobatan TB yang lebih singkat, memperkuat kolaborasi dengan komunitas serta melakukan inovasi pembiayaan untuk layanan TB.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024