Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan swasembada kedelai tidak harus dipaksakan oleh Indonesia untuk mengatasi kran impor kacang kedelai yang terbuka lebar masuk dari luar negeri.

"Kita perlu kekhasan produk kedelai. Kedelai kita lebih gurih mungkin untuk tahu atau signature product mungkin bisa, tetapi kalau membahas swasembada terus terang berat," ujarnya dalam lokakarya BRIN bertajuk swasembada kedelai yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Bustanul yang merupakan ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan sumber daya yang sekarang Indonesia miliki tidak seperti dulu di mana area tanam kedelai kian menyempit dari waktu ke waktu.

Program Pajale atau upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai yang dicanangkan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo kini sudah jarang terdengar.

Sekarang langkah pemerintah dalam bidang peningkatan produksi pangan lebih banyak mengarah kepada padi dan jagung.

"Itu sudah menjadi sinyal khusus (swasembada kedelai bukan lagi prioritas)," kata Bustanul.

Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa produksi kedelai per tahun dari Brasil mencapai 155 juta ton, Amerika Serikat sebanyak 113 juta ton, dan Argentina sebesar 50 juta ton. Ketiga negara itu sudah menguasai 80 persen pasar global.

Saat ini produksi kedelai global menyentuh angka 397 juta ton per tahun dan diproyeksikan mencapai 443 juta ton per tahun dalam waktu satu dekade ke depan. Negara konsumen terbesar kedelai adalah China.

Bustanul mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu mengharapkan Indonesia menjadi negara swasembada kedelai untuk menyaingi negara-negara produsen kedelai yang kini merajai pasar dunia.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan usaha tani kedelai Indonesia berskala kecil. Produktivitas kedelai lokal lebih rendah ketimbang negara lain, biaya per satuan produk tinggi, dan harga produsen sebagai proksi dari biaya produksi juga sangat tinggi.

Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Dewa Ketut Sandra Swastika memaparkan Amerika Serikat memiliki luas lahan mencapai 33 juta hektare dengan angka produksi mencapai 3,37 ton per hektare, sedangkan biaya produksi hanya 409 dolar AS per ton.

Sedangkan, luas lahan kedelai di Indonesia hanya 314 ribu hektare dengan produksi rata-rata 1,43 ton per hektare dan biaya produksi mencapai 616,90 dolar AS per ton.

Menurut Dewa, meski perjalanan swasembada kedelai di Indonesia sudah berjalan selama setengah abad, namun berbagai program peningkatan produksi dan kebijakan harga untuk mencapai swasembada belum mampu mendorong petani meningkatkan areal tanam dan produksi.

Potensi peningkatan produksi di lahan usaha tani yang sudah ada sangat sulit, karena kalah bersaing dengan palawija lain.

“Usaha tani kedelai bukan prioritas seperti halnya padi. Petani lebih banyak menanam kedelai saat mereka tidak bisa menanam padi, tapi selama ada air petani pasti menanam padi,” kata Dewa.

Alternatif yang dapat dilakukan oleh Indonesia sebagai negara pengimpor kedelai adalah menciptakan nilai tambah kedelai dengan memproduksi pangan olahan generasi ketiga, seperti tempe diolah menjadi produk yang bernilai tinggi.

Dewa mencontohkan Swiss yang menjadi pengimpor biji kakao Indonesia, tetapi Swiss mengekspor cokelat dengan nilai yang jauh lebih tinggi dari biji kakao ke Indonesia dan negara-negara lain.

“Sasarannya adalah pasar dalam negeri dan ekspor, kalau kita sudah bisa menghasilkan produk olahan generasi ketiga,” pungkasnya.

Baca juga: Kementan ungkap kendala swasembada kedelai
Baca juga: Program tanam 1.000 hektare kedelai di Lampung dimulai September

Baca juga: Batan kembangkan varietas padi unggul-tanaman sela untuk swasembada

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024