Jadi ini bukan eksekusi ya, ini adalah upaya penangkapan dan penegakan hukum atas berbagai aksi terorisme yang telah mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda milik masyarakat,"
Jakarta (ANTARA News) - Penembakan terhadap terduga teroris dalam penyergapan dinilai sebagai negosiasi, bukan eksekusi mati karena semata untuk menyelamatkan nyawa dalam menghadapi lawan yang juga bersenjata, bahkan menyerang.
"Jadi ini bukan eksekusi ya, ini adalah upaya penangkapan dan penegakan hukum atas berbagai aksi terorisme yang telah mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian harta benda milik masyarakat," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar saat konferensi pers gelar barang bukti hasil penggrebekan lokasi teroris Ciputat di Mabes Polri, Jakarta, Jumat.
Boy menjelaskan prosedur negosiasi selalu dilakukan ketika penyergapan teroris sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penanggulangan Terorisme.
"Jadi, dalam konteks penegakan hukum yang menghadapi kejahatan bersifat ekstraordinary crime (kejahatan luar biasa), SOP yang dilakukan harus benar-benar dilakukan penuh kewaspadaan," katanya.
Dia mengatakan personel Densus 88 sudah melakukan beberapa upaya negosiasi, seperti mengimbau teroris untuk keluar dan menyerahkan diri, namun karena kondisinya mengacam nyawa karena teroris tersebut juga melepaskan tembakan, terjadi saling tembak.
"Sudah banyak contoh petugas-petugas kita meninggal dunia karena kalah cepat ditembak oleh mereka para terduga teroris itu," katanya.
Jadi, Boy meminta masyarakat memahami bahwa tindakan tersebut bukan eksekusi, melainkan penegakan hukum.
"Mohon diluruskan, ini bukan eksekusi, tapi upaya penegakan hukum yang didasarkan kepada kasus-kasus terorisme yang ada di negara kita," katanya.
Senada dengan Boy, Kapolri Jenderal Pol Sutarman juga mengatakan upaya tersebut untuk menyelamatkan jiwa.
"Polisi tidak akan menembak mati kalau tidak membahayakan. Jika membahayakan dan malah melempar bom, tentu kita tidak ingin jatuh korban lebih banyak," katanya.
Dia mengatakan upaya negosiasi tersebut juga sudah sesuai SOP.
Pernyataan tersebut menyusul berbagai pendapat di masyarakat, salah satunya dari Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari yang menilai bahwa tindakan penembakan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam penangkapan terduga teroris di Ciputat tidak sesuai dengan konstitusi karena tidak menjalankan prinsip-prinsip negara hukum.
"Tindakan Tim Densus 88 dalam menangani terduga teroris di Ciputat itu kurang tepat karena tidak sejalan dengan konstitusi yang menyatakan Indonesia sebagai negara hukum," katanya.
Menurut dia, tindakan Tim Densus 88 Antiteror yang menembak mati para terduga teroris saat penangkapan telah melanggar prinsip-prinsip supremasi hukum.
"Saya hanya mengingatkan kepada Kepolisian RI, terutama Densus 88, akan bunyi UUD 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Maka para terduga teroris itu boleh dihukum mati, tetapi harus melalui keputusan pengadilan. Itu baru namanya negara hukum," ujarnya.
Hajriyanto menekankan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, maka setiap orang yang diduga melanggar hukum harus tetap ditindak dengan proses penegakan hukum yang tepat.
"Jadi, teroris boleh dihukum mati di Indonesia dengan cara ditembak, namun penembakan itu harus berdasarkan keputusan pengadilan," ujarnya.
(J010/I007)
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014