Diharapkan inisiatif, kebijakan, maupun program yang dirancang akan meminimalkan konflik yang ada
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pelita Harapan Prof Dr Edwin Martua Bangun Tambunan mengatakan sensitivitas konflik penting untuk diterapkan dalam mewujudkan dan merawat perdamaian.
“Upaya ini perlu dilakukan di berbagai bidang kehidupan, terutama untuk mencegah efek destruktif yang ditimbulkan akibat konflik yang terjadi antar-organisasi atau negara tertentu. Misalnya, seperti kejadian perang antara Rusia dan Ukraina atau perang antara Hamas dan Israel yang terjadi baru-baru ini,” kata Edwin di Jakarta, Sabtu.
Sensitivitas konflik merupakan pendekatan dari organisasi untuk memastikan bahwa respons atau intervensi yang dilakukan jangan sampai secara tidak sengaja berkontribusi terhadap konflik.
Sebaliknya, dengan adanya sensitivitas konflik justru harus semakin memperkuat inklusi, partisipasi, dan rasa kepemilikan. Adapun respons atau intervensi yang dimaksudkan dapat berupa inisiatif, kebijakan, program, proyek, atau tindakan.
Edwin mengambil contoh terkait perang Hamas dan Israel. Menurut dia, apabila kedua pihak mau melakukan kalkulasi dan memiliki sensitivitas konflik, maka kemungkinan besar tidak perlu terjadi perang besar yang menewaskan ribuan penduduk sipil.
Sensitivitas konflik adalah sebuah pendekatan yang berkeadilan. Untuk itu, analisis yang dilakukan harus cermat mengungkap berbagai kesenjangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan pelanggaran yang tengah terjadi.
Dengan informasi yang diperoleh, diharapkan inisiatif, kebijakan, maupun program yang dirancang akan meminimalkan konflik yang ada.
“Ada tiga cara penerapan sensitivitas konflik yang dapat dilakukan dalam suatu organisasi. Pertama, dengan membiasakan organisasi untuk melaksanakan analisis konflik dan memperbaharuinya secara berkala. Kedua, dengan menghubungkan analisis konflik dan siklus pemrograman intervensi. Ketiga, dengan merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi intervensi merujuk pada hasil analisis konflik, termasuk mendesain ulang bila diperlukan. Di antara ketiganya itu, analisis konflik adalah komponen utama dalam pengembangan sensitivitas konflik. Kegiatan ini menjadi landasan untuk penyusunan program yang sensitif terhadap konflik, khususnya dalam hal pemahaman tentang interaksi antara intervensi dan konteksnya,” latanya.
Edwin berharap manfaat dari sensitivitas konflik dapat diterapkan secara relevan, dan penerapannya diperluas termasuk ke dalam ranah kebijakan publik dan dunia usaha.
Ia menegaskan, penerapan secara cermat dan tepat dapat mencegah terjadinya risiko, meminimalkan risiko, dan mitigasi risiko terjadinya konflik atau kekerasan.
Selain itu, juga akan membentuk persepsi positif atas kebijakan, program, proyek, atau inisiatif yang dilaksanakan, serta memperkuat citra dan reputasi positif dari organisasi maupun pejabatnya.
Sebelumnya, Edwin dikukuhkan sebagai Guru Besar UPH ke-34, berdasarkan Surat Keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tertanggal 1 Desember 2023.
Rektor UPH, Dr (Hon) Jonathan L Parapak MEng Sc, bersyukur dengan bertambahnya guru besar di kampus tersebut.
Hal itu diharapkan dapat menjadi semangat untuk terus berkontribusi bagi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.***
Pewarta: Indriani
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024