Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan pembangunan pabrik parasetamol di dalam negeri seringkali terbentur pada permasalahan ketersediaan bahan baku karena masih impor dan keekonomian.

Peneliti Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Bambang Srijanto mengatakan sintesis parasetamol telah terbukti secara komersial dengan berbagai jalur sintesis dan telah diterapkan pada skala komersial.

"Saat ini terdapat empat jalur sintesis parasetamol yang sudah terbukti secara komersial dan dikembangkan di dunia," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

Jalur sintesis pertama adalah melalui nitrasi klorobenzena yang dikembangkan oleh perusahaan Monsanto Inc. Kedua, sintesis parasetamol melalui nitrasi fenol yang dikembangkan oleh perusahaan Sterling.

Kemudian, jalur sintesis ketiga adalah reduksi nitrobenzena yang dikembangkan oleh perusahaan Malinkord. Pada jalur keempat adalah reaksi Hoechst-Celanesen.

Kebutuhan parasetamol di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat, sejak 2018 volume kebutuhan parasetamol sebesar 6.800 ton.

Baca juga: BRIN: Warga perlu tangani limbah parasetamol tidak cemari lingkungan

Pada 2024, kebutuhan parasetamol mengalami kenaikan sampai 8.800 ton dan diperkirakan dapat menyentuh angka 11.00 ton pada tahun 2032 mendatang.

“Dari segi harga, setiap tahun parasetamol juga terus mengalami kenaikan, jika pada 2018 harganya 4,78 dolar AS per kilogram, kini naik menjadi 8 dolar AS per kilogram. Hal ini menjadi kenaikan yang luar biasa,” kata Bambang.

Data Chemanlyst pada tahun 2024 menyebutkan harga parasetamol di Asia Pasifik khususnya di Shanghai, China, saat ini telah mencapai 3.950 dolar AS per metrik ton.

Di Eropa khususnya Hamburg, Jerman, harganya mencapai 4.050 dolar AS per metrik ton. Kemudian harga parasetamol di Amerika Utara khususnya di Houston sebesar 4.995 dolar AS per metrik ton.

Sedangkan di Indonesia menurut informasi dari PT Riasima Abadi Farma harga parasetamol berkisar antara 4.000 sampai 6.000 dolar AS per metrik ton.

Bambang mengatakan harga parasetamol di tingkat dunia dapat mencapai 4.000 sampai 9.000 dolar AS per metrik ton. Harga yang tinggi tersebut dapat menjadi peluang menjanjikan bagi Indonesia jika bisa memproduksi parasetamol di dalam negeri.

Baca juga: Periset:Perlu riset ungkap sumber polutan parasetamol di Teluk Jakarta

Hasil kajian analisis tekno ekonomi dapat menyimpulkan pada kapasitas 8.000 ton per tahun dan harga jual produk 5 dolar AS per kilogram serta seluruh produknya digunakan di dalam negeri, maka proses kontinu telah menunjukkan nilai net present value (NPV) yang positif.

Bambang menyarankan pemerintah untuk membuat kebijakan melalui penerapan aturan agar semua produsen obat menggunakan bahan baku parasetamol produksi dalam negeri.

"Sebaliknya untuk proses batch pada kapasitas 8.000 ton per tahun dan harga jual produk 5 dolar AS per kilogram belum memberikan nilai NPV yang positif, meski keseluruhan hasil produknya digunakan di dalam negeri,” ujarnya.

Lebih lanjut Bambang menyampaikan bahwa pembangunan pabrik parasetamol di Indonesia secara ekonomis belum menguntungkan jika harga jual kurang dari 5 dolar AS per kilogram pada kapasitas produksi 8.000 ton per tahun.

Pada harga 5 dolar AS per kilogram tersebut produk proses kontinu telah menunjukkan nilai net present value yang positif dengan asumsi semua produk parasetamol yang dihasilkan 100 persen digunakan di dalam negeri.

"Agar harga jual parasetamol bisa lebih kompetitif, maka perlu adanya insentif di sub-industri para aminophenol, asetat anhidrida, dan industri hulu," tuturnya.

Baca juga: BRIN: Perlu teknologi pengelolaan limbah obat-obatan yang lebih baik

"Tentunya agar harga bahan baku parasetamol bisa lebih rendah mengingat total biaya bahan baku hampir mendekati harga jual parasetamol itu sendiri,” kata Bambang.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024