Badung, Bali (ANTARA) - Air adalah sumber kehidupan. Menimbang kondisi planet bumi yang 72 persen merupakan perairan, tidak heran bahwa hampir seluruh kehidupan di dunia ini bergantung dan terhubung dengan air.
Air juga merupakan kunci untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), khususnya Tujuan 6 mengenai air bersih dan sanitasi yang mendukung hampir semua tujuan lainnya, terutama Tujuan 1 dan 2 mengenai penanganan kemiskinan dan kelaparan.
Seperti diketahui, negara maju maupun negara berkembang di Sidang Umum PBB pada September 2015 mendeklarasikan mengenai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs, yakni komitmen global dan nasional dalam upaya untuk menyejahterakan masyarakat yang mencakup 17 tujuan serta sasaran global tahun 2030.
Tujuan tersebut meliputi (1) Tanpa Kemiskinan, (2) Tanpa Kelaparan, (3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera, (4) Pendidikan Berkualitas, (5) Kesetaraan Gender, (6) Air Bersih dan Sanitasi Layak serta (7) Energi Bersih dan Terjangkau.
Tujuan lainnya,(8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, (9) Industri, Inovasi dan Infrastruktur, (10) Berkurangnya Kesenjangan, (11) Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan,(12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab,(13) Penanganan Perubahan Iklim, (14) Ekosistem Lautan, (15) Ekosistem Daratan, (`16) Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh,(17) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.
Namun, meski hampir seluruh kehidupan di dunia ini bergantung dan terhubung dengan air, tapi Laporan Air Dunia terbaru dari PBB dengan tema “Air untuk Perdamaian dan Kemakmuran” menunjukkan bahwa akibat perubahan iklim, kelangkaan air musiman diperkirakan akan meningkat. Bahkan, di negara-negara yang airnya berlimpah, seperti di Afrika Tengah, Asia Timur, dan wilayah-wilayah lainnya di Amerika Selatan. Air akan semakin langka jika persediaan sudah terbatas.
Selain itu, menurut data UNICEF, sekitar 2,2 miliar orang masih kekurangan akses terhadap air minum yang aman, dan separuh populasi global tidak memiliki akses terhadap sanitasi air bersih.
UNICEF juga menginformasikan bahwa 700 anak balita meninggal setiap hari karena kurangnya layanan pencucian yang layak.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara tahun 2020 hingga 2024 UNICEF menyediakan layanan air untuk ketahanan iklim kepada lebih dari 23 juta orang dan layanan sanitasi kepada lebih dari 17 juta orang.
Kendati demikian, memenuhi kebutuhan air untuk layanan pencucian dan penggunaan lainnya, termasuk pertanian dan industri, menjadi semakin sulit.
Satu dari sepuluh orang tinggal di negara-negara dengan kelangkaan air yang tinggi atau kritis, kata UNICEF.
Kondisi seperti ini tentunya memerlukan mekanisme bersama untuk mengatasi permasalahan air yang dihadapi banyak negara di dunia.
Faktanya, tidak semua negara memiliki kapasitas yang mumpuni untuk mengatasi permasalahan air, terutama negara kurang berkembang dan beberapa negara berkembang, sehingga diperlukan mekanisme bersama.
Misalnya, Pemerintah Fiji mengaku bahwa negaranya belum dapat melakukan water development secara mandiri karena keterbatasan dari negara kepulauan Pasifik ini, terutama dari segi pembiayaan.
"Kami tidak bisa mengembangkannya karena kemampuan kami terbatas, tetapi dengan adanya suatu dana (air) global dan kami punya keahliannya, kami punya orang-orang yang berpengalaman di bidang itu, kami bisa mengatasi masalah air. Tidak hanya di Fiji, tetapi untuk negara pulau-pulau Pasifik lainnya," kata Presiden Fiji Wiliame Katonivere kepada ANTARA.
Perlunya investasi dalam jumlah besar memang menjadi tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan sistem air, khususnya untuk meningkatkan infrastruktur air dan sanitasi yang memadai.
Karena pendanaan di sektor air membutuhkan investasi yang sangat besar, dana yang berasal dari pemerintah suatu negara saja tidak akan memadai untuk mengatasi masalah air di negara itu.
Oleh karenanya, World Water Forum ke-10 tahun ini dapat menjadi momentum untuk merancang mekanisme pendanaan bersama atau blended finance guna pembangunan infrastruktur air dan sanitasi.
Selain itu, menurut PBB, kebutuhan investasi dan pembiayaan di sektor air sangat besar, misalnya infrastruktur air saja diperkirakan membutuhkan pendanaan sebesar 6,7 triliun dolar AS hingga 2030.
Melihat keperluan itu, Indonesia memprakarsai pembentukan suatu dana air global (Global Water Fund) sebagai mekanisme bersama penanganan berbagai masalah air di semua negara di dunia.
"Global Water Fund itu pada prinsipnya platform global untuk dapat memobilisasi pembiayaan yang nanti bisa membantu pembiayaan sektor air maupun sumber daya air di suatu negara," kata Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Herry Trisaputra Zuna.
Pembentukan dana air global itu diharapkan dapat menjembatani kesenjangan kebutuhan pembiayaan yang besar untuk water development.
Global Water Fund itu, bila terbentuk, nantinya mempunyai cakupan di seluruh negara. Dana para donatur akan dimobilisasi guna pembiayaan infrastruktur di sektor sumber daya air dan sanitasi.
Namun, kemauan politik negara-negara dan komitmen bersama para pemangku kepentingan terkait menjadi tantangan utama bagi pembentukan mekanisme dana air global ini.
"Memang umumnya untuk membangun komitmen yang tentu menjadi tantangan utama, tetapi kalau dari sisi kebersamaan, semua negara mempunyai problem yang sama untuk air ini, kebutuhan besar, sumber terbatas," kata Herry.
Bercermin pada pembentukan dana pandemi global yang membutuhkan waktu sekitar tiga tahun, dia optimistis bahwa dana air global akan dapat terbentuk, tetapi dia meyakini diperlukan percepatan untuk pembentukan dana air itu karena adanya kebutuhan yang besar dan mendesak.
Akan tetapi, World Water Forum ke-10 yang digelar oleh Indonesia paling tidak telah menjadi wadah untuk mendorong negara-negara lain dan pihak-pihak terkait melihat tentang perlunya suatu dana air global.
"Global Water Fund ini akan bersifat kolaborasi yang membutuhkan komitmen bersama yang mengajak semua pihak untuk mempunyai tujuan bersama. Bila tujuan itu bisa terbentuk dan ada rasa memiliki bersama maka bisa lebih lancar untuk pembentukan dana ini ke depan," ucapnya.
Selain kemauan politik dan komitmen bersama, tantangan lain bagi pembentukan Global Water Fund sebagai mekanisme pendanaan baru global adalah komitmen pemerintah negara-negara untuk bersedia memprioritaskan dan meningkatkan anggaran sektor air.
Dalam hal ini, tantangannya adalah kebutuhan investasi dan pembiayaan di sektor air bersih sangat besar, namun sektor air global saat ini hanya menarik kurang dari 2 persen belanja publik, menurut Bank Dunia.
“Sektor air, menurut penilaian kami, adalah sektor yang paling kekurangan dana di seluruh perekonomian di dunia. Tidak mungkin kita bisa membicarakan mekanisme baru, jika pemerintah masih perlu memperbaiki cara mereka mengalokasikan anggaran publik,” ujar Water Global Practice Director, World Bank Group, Saroj Kumar Jha.
Di sebagian besar negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang, air masih menjadi sektor yang paling kekurangan dana di seluruh perekonomian dunia.
"Faktanya, ada negara seperti Republik Demokratik Kongo yang hanya menghabiskan 2 hingga 3 persen anggaran tahunannya untuk air. Sementara, mereka membelanjakan 7 persen untuk pertanian, 13 persen untuk transportasi, dan 26 persen untuk energi," ujar Saroj.
Dia menyebutkan bahwa mayoritas negara berkembang di dunia menghabiskan kurang dari 2 persen anggaran tahunan mereka untuk air.
Alokasi seperti itu, memberikan gambaran mengenai bagaimana pendanaan sektor air diprioritaskan dalam anggaran publik di sebagian besar negara berkembang.
Selanjutnya, kebutuhan investasi untuk pembenahan infrastruktur air dan sanitasi juga memadai sangat besar sehingga dana yang berasal dari pemerintah saja tidak akan cukup.
Untuk itu, pendanaan global ini tentu memerlukan partisipasi pihak non-pemerintah, seperti organisasi internasional dan swasta. Namun begitu, dengan masih sangat kecilnya anggaran negara untuk sektor air tentu akan sulit mengundang investasi dan keterlibatan pihak swasta.
“Jangan berharap sektor swasta akan berpartisipasi jika Anda tidak memprioritaskan kami … Anda harus memimpin sektor ini dengan memiliki kebijakan dan peraturan yang tepat, dan tentu saja, didukung oleh pendanaan yang tepat di sektor ini," ucap Saroj menambahkan.
Dalam beberapa kasus, pihak swasta di sektor air sebenarnya hanya merupakan pemain yang sangat kecil dalam total pengeluaran yang terjadi di sektor air, dan itu pun hanya untuk penyediaan air bersih dan sanitasi.
Sebagian besar pemain di sektor air di banyak negara adalah badan pemerintah atau perusahaan negara, maka diperlukan "lapangan bermain" yang setara untuk sektor swasta mau ikut serta dalam sektor air.
Untuk itu, apa yang paling dibutuhkan bukan hanya lebih banyak dana di sektor air, tetapi juga reformasi komprehensif dari sektor tersebut, kebijakan sektor air yang jelas, dan kerangka kelembagaan yang jelas untuk menyatukan berbagai bagian pemerintahan di suatu negara yang diatur dengan baik guna menciptakan perlakuan yang setara bagi sektor swasta.
Dengan demikian, keterlibatan pihak swasta semakin mungkin dalam Global Water Fund di masa depan. Proses pembentukan dana air global ini tentu masih membutuhkan waktu yang cukup panjang karena desain maupun detail dari mekanisme Global Water Fund ini perlu dikaji lebih lanjut.
Dengan demikian, World Water Forum ke-10 dan selanjutnya dapat menjadi wadah bagi berbagai pihak untuk merancang mekanisme pendanaan yang matang dan tepat sasaran guna mewujudkan air untuk kesejahteraan bersama.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024