Jakarta (ANTARA) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berharap 11 rekomendasi Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) terkait pelanggaran HAM berat yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa dilanjutkan oleh pemerintahan baru.
Yasona mengatakan pihaknya sudah sampai menjanjikan bahwa penyelesaian rekomendasi PPHAM tersebut bukan merupakan program satu tahun, tetapi program berkelanjutan, ke berbagai negara saat pergi ke Belanda dan Ceko.
"Kami harapkan itu nanti diteruskan oleh pemerintahan selanjutnya dan kami rekomendasikan diteruskan oleh pemerintahan berikutnya," ujar Yasonna saat ditemui usai acara pembukaan Rapat Kerja Program Pemajuan dan Penegakan HAM di Jakarta, Senin.
Adapun pada awal Januari 2023, Tim PPHAM memberikan 11 rekomendasi kepada Presiden Jokowi terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat.
Rekomendasi dimaksud, yakni pertama, menyampaikan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Kedua, melakukan tindakan penyusunan ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.
Ketiga, memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat lainnya yang tidak masuk dalam cakupan mandat Tim PPHAM.
Keempat, melakukan pendataan kembali korban. Kelima, memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.
Keenam, memperkuat penunaian kewajiban negara terhadap pemulihan korban secara spesifik pada satu sisi dan penguatan kohesi bangsa secara lebih luas pada sisi lainnya. Menurut Tim PPHAM, perlu dilakukan pembangunan berbagai upaya alternatif harmonisasi bangsa yang bersifat kultural.
Ketujuh, melakukan sosialisasi ulang kepada korban dengan masyarakat secara lebih luas. Kedelapan, membuat kebijakan negara untuk menjamin tidak berulangnya peristiwa pelanggaran HAM yang berat.
Kebijakan bisa dilakukan melalui kampanye kesadaran publik; pendampingan masyarakat dengan terus mendorong upaya untuk sadar HAM, sekaligus untuk memperlihatkan kehadiran negara dalam upaya pendampingan korban HAM; peningkatan partisipasi aktif masyarakat dalam upaya bersama untuk mengarusutamakan prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari; serta membuat kebijakan reformasi struktural dan kultural di TNI/Polri.
Kesembilan, membangun memorabilia yang berbasis pada dokumen sejarah yang memadai serta bersifat peringatan agar kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.
Kesepuluh, melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM meliputi ratifikasi beberapa instrumen hak asasi manusia internasional, amandemen peraturan perundang-undangan, dan pengesahan undang-undang baru.
Kesebelas, membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi yang disampaikan oleh Tim PPHAM.
Sebelumnya, Presiden Jokowi pada awal tahun lalu menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam sedikitnya 12 peristiwa pada masa lalu.
Ke-12 peristiwa tersebut, yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.
Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Baca juga: Kemenkumham usul penyertaan substansi HAM dalam RPJMN 2025-2029
Baca juga: Tim PPHAM salurkan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat
Baca juga: Ketua MPR minta pemerintah terus telusuri korban pelanggaran HAM berat
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024