Jembrana (ANTARA News) - Penjor dan "canang" yang biasanya lekat dengan persembahyangan umat Hindu menyemarakkan suasana Hari Raya Natal di Desa Ekasari, Kabupaten Jembrana, Bali.

Desa di ujung barat Pulau Dewata itu terdapat tiga dusun yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.

Dalam menjalankan ritual mereka bernaung di Gereja Hati Kudus Yesus yang berlokasi di Dusun Palasari.

Namun, nenek moyang mereka adalah pemeluk agama Hindu.

Hal itu dapat dikenali dari nama depan mereka berdasarkan urutan dalam keluarga masyarakat Bali pada umumnya, seperti Wayan, Made, Komang, dan Ketut.

Bukan hal aneh bila warga Desa Ekasari, Kecamatan Melaya menyandang nama depan berdasarkan urutan keluarga diikuti dengan nama baptis, seperti I Nyoman Thomas Narta dan Jro Komang Yosep.

Jalan sepanjang 5 kilometer dari jalur utama Denpasar-Gilimanuk menuju Desa Ekasari penuh dengan hiasan penjor.

Sepintas, penjor itu seperti hiasan Hari Raya Galungan dan Kuningan yang jatuh setiap 210 hari sekali dalam penanggalan umat Hindu di Bali.

Umat Katolik di desa yang berjarak sekitar 20 kilometer di sebelah barat Negara, Ibu Kota Kabupaten Jembrana, itu bergotong royong membuat penjor untuk Natal, sama persis dengan "ngayah" yang biasa dilakukan oleh umat Hindu di Bali dalam menghadapi berbagai kegiatan ritual keagamaan dan adat.

"Model dan bentuknya sama persis dengan penjor Galungan. Yang membedakan sesajen di penjor kami hanya sebagai simbol," kata Wayan Suratna (40), warga Dusun Palasari, Desa Ekasari.

Sebelum melakukan ritual misa malam Natal, umat Katolik di Desa Ekasari menziarahi makam sanak saudara mereka di Dusun Palasari.

Pemakaman khusus Katolik itu berjarak sekitar 500 meter di gereja. Di sekitar pemakaman itu juga terdapat lubang buatan yang mereka sebut dengan Gua Maria.

Ajaran Katolik menyebar di Desa Ekasari pada era 1950-an bersamaan dengan delapan umat Katolik asal Desa Tuka, Kabupaten Badung, sebagai komunitas Katolik tertua di Bali.

Delapan orang tersebut merambah hutan Desa Ekasari dan membangun tempat tinggal. Mereka menikah dengan penduduk desa hutan itu hingga beranak pinak.

Hal itu terlihat dari beberapa nisan umat Katolik yang mencantumkan Desa Tuka sebagai tempat kelahirannya.

"Oleh karena itu, ritual yang kami jalani di desa ini mengadopsi ritual umat Hindu sesuai dengan ajaran nenek moyang kami," kata Ni Ketut Munika saat ditemui di sela-sela menziarahi makam sanak keluarganya.

"Sebagai generasi penerus, kami berkewajiban melestarikan adat istiadat nenek moyang sesuai dengan keyakinan kami," ujar perempuan berusia 28 tahun yang memeluk agama Katolik untuk mengikuti ajaran suaminya itu.

Kenakan Pakaian Adat
Saat menjalani misa malam Natal di Gereja Hati Kudus Yesus, Rabu (24/12), jemaat diwajibkan mengenakan pakaian adat Bali.

Pakaian yang dikenakan sama persis dengan pakaian yang dikenakan umat Hindu di Bali saat menjalani ritual keagamaan dan adat.

Bagi kaum pria mengenakan udeng dan "kamen", sedangkan kaum perempuan berkebaya dengan selendang yang dililitkan di pinggangnya.

Bedanya, umat Katolik di Desa Ekasari menggunakan asesoris kalung salip dan rosario.

Tidak lupa juga Alkitab turut dibawanya saat mendatangi gereja. Sebelum memasuki gereja yang gaya bangunannya mirip pura itu, jemaat membersihkan diri menggunakan air suci yang disediakan panitia di pintu masuk. Sesuci ini juga mirip dengan "metirta" umat Hindu di Pulau Dewata itu sebelum memasuki areal pura.

Di dalam gereja yang mampu menampung sekitar 700 orang itu juga terdapat "canang" dan "gebogan" sebagai sarana utama persembahyangan umat Hindu. Canang dan gebogan itu merupakan sumbangan dari umat.

Setelah misa, jemaat di gereja itu dihibur dengan tari-tarian tradisional Bali yang dimodifikasi sesuai dengan nuansa kristiani, seperti Tari Merak Angelo dan Tari Kembang Girang.

"Hanya beberapa gerakan tari yang sedikit beda dengan tarian Bali," kata Wayan Suryatna.

Bahkan, saking miripnya perbedaan gerakan tarian tersebut nyaris tak terlihat, antara tarian yang dibawakan di pura dan di gereja.

Kalau di pura, para penari diiringi gamelan dan peralatan musik tradisional lainnya lengkap dengan sesajen sebagai bentuk persembahan, sedangkan di gereja itu iringan musiknya menggunakan cakram padat (CD) yang diputar melalui perangkat audio dan tanpa sesajen.

"Ini baru pertama kali kami menyuguhkan tarian. Mungkin nanti kami akan mementaskan tarian dengan iringan musik gamelan asli," ujarnya.

Potong Babi
Sementara itu, jemaat Gereja Santo Mikhail di Desa Mengesta, Kabupaten Tabanan, juga mengenakan pakaian adat Bali saat mengikuti misa Hari Raya Natal.

Misa Natal di gereja Katolik yang berlokasi di Dusun Adat Piling Kawan, Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, itu dipimpin oleh Romo Damianus Hayong.

"Kami melakukan misa dengan mengenakan pakaian adat Bali ini sudah lama dan ini tradisi turun-temurun," kata Ketua Dewan Stasi Piling Patris I Ketut Suka Wiratnaja.

Gereja yang dibangun pada tahun 1976 itu menampung 152 orang atau 44 keluarga yang tinggal di sekitar wilayah Kecamatan Penebel.

Bangunan gereja Katolik itu pun mengadopsi model bangunan pura dan rumah adat masyarakat Bali, seperti pintunya yang berbentuk "gelung kori" dan gapura model "candi bentar" lengkap dengan ukir-ukiran khas Pulau Dewata.

Yang membedakan gereja itu dengan pura adalah salib.

Namun, pernak-pernik Natal mirip dengan pernak-pernik Hari Raya Galungan dan Kuningan bagi umat Hindu, seperti penjor dan daun kelapa muda serta enau.

Setelah misa, umat Kristen di Desa Mengesta itu juga saling mengunjungi sanak saudara, seperti tradisi "ngejot" saat Galungan dan Kuningan.

Makanan khas Bali "lawar" berbahan daging babi menjadi menu utama Natal bagi umat Kristen di desa itu. "Namun, kami baru memotong babi dua hari setelah Hari Raya Natal," kata Suka Wiratnaja.

Rangkaian ritual Hari Raya Natal di kedua gereja yang berlokasi di perkampungan itu berlangsung aman dan lancar.

Oleh i gede wira suryantala
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013