Jakarta (ANTARA News) - Pelaku usaha sektor kulit dan produk kulit harus terus meningkatkan inovasi dan promosi agar pasar yang terbuka lebar baik di dalam maupun luar negeri tidak direbut pesaing dari negara lain seperti Korea dan China.
Sekretaris Menneg Koperasi dan UKM Guritno Kusumo usai membuka Pameran Kulit, Produk Kulit, Wanita dalam Gaya di JCC Jakarta, Rabu mengatakan, saat ini, impor kulit dan produk kulit ke Indonesia cukup besar.
"Kalau kita bisa mengambil pasar impor tersebut saya pikir industri kulit dapat berkembang lebih baik lagi," katanya.
Hanya sayang, Guritno tidak mengetahui seberapa besar impor kulit dan produk kulit Indonesia.
Menurut dia, dengan penduduk lebih 200 juta jiwa merupakan potensi pasar cukup besar bagi produk kulit.
Apalagi, lanjutnya, seandainya ekspor kulit dan produk kulit bisa
ditingkatkan lagi seperti pada masa lalu, maka prospek industri kulit dan ikutannya akan semakin baik.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor produk kulit
Indonesia antara 2000-2004 memang mengalami peningkatan dari 1,225 miliar dolar tahun 2000 menjadi 3,106 miliar dolar tahun 2004.
"Namun, peningkatan ekspor itu seharusnya lebih besar lagi dengan melihat potensi bahan baku kulit berkualitas baik," ujarnya.
Asisten Deputi Ekspor dan Impor Kementerian Menneg Koperasi dan UKM Prijadi Atmadja menambahkan, kualitas kulit yang dihasilkan dari pengrajin kulit di Jawa tergolong terbaik di dunia.
"Secara tradisional para peternak seperti sapi dan kambing di Jawa mempunyai kebiasaan memandikan ternaknya hampir setiap hari. Kebiasaan itu secara tidak langsung membuat kualitas kulitnya menjadi unggul," ujarnya.
Hanya saja, menurut dia, salah satu kelemahan produk kulit Indonesia adalah disain yang monoton.
Selain itu, lanjutnya, industri kulit Indonesia juga sangat bergantung pada impor bahan kimia buat penyamakan dan aksesorisnya, sehingga kalah bersaing dengan negara lain .
"Saat ini, penyamakan kulit hanya ada di Magetan dan Garut. Sehingga, pengrajin kulit di Medan harus menyamakan kulitnya di Garut, dibawa lagi ke Medan untuk dibuat sepatu dan balik lagi ke Jakarta untuk dijual. Kondisi itu tentunya membuat harga menjadi mahal dan akhirnya kalah dengan produk China dan Korea," ujarnya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006