Meski target pemerintah Kerajaan Arab Saudi adalah mereka yang bekerja di sektor formal, namun banyak juga jumlahnya yang bekerja di sektor non-formal seperti pekerja rumah tangga, supir dan buruh bangunan.
Berdasarkan data yang dikutip dari surat kabar Arab News, jumlah pekerja asing resmi yang tercatat di kerajaan Arab Saudi mencapai 9.2 juta orang.
Dengan jumlah sebesar ini, pemerintah Saudi kemudian memaksa para pekerja asing tersebut untuk segera mengajukan permohonan sebagai warga negara Saudi atau memperbaharui status tinggal mereka.
Karena angka orang asing yang tercatat bekerja di negara penghasil minyak bumi tersebut hanya 9,2 juta orang, masih banyak jumlah pekerja non-formal yang tidak terdaftar atau illegal.
Mereka yang termasuk ilegal ini adalah yang menyalahi izin tinggal, baik itu masa berlaku yang sudah habis namun masih menetap dan mencari nafkah disana maupun kegunaan visa umroh atau haji.
Para pelanggar tersebut kemudian diberikan julukan sebagai "overstayer".
Karena jumlah tepatnya tidak diketahui secara pasti, pemerintah Kerajaan Arab Saudi sejak Maret 2013 menyarankan kepada para overstayer tersebut untuk dapat memperbaiki status mereka, sehingga menjadi legal.
Setelah tenggat waktu tujuh bulan yang telah ditentukan jatuh pada tanggal 3 November 2013, pemerintah Arab Saudi melalui petugas imigrasinya akan melakukan penyisiran overstayer untuk diproses lebih lanjut.
Para pekerja yang masih belum menyelesaikan perbaikan status tinggalnya di Arab Saudi akan di deportasi ke negara masing-masing dengan sebelumnya menjalani proses identifikasi imigrasi terlebih dahulu di rumah detensi hingga dapat diterbitkan exit permit bagi yang bersangkutan.
Perbaikan status tersebut dapat dilakukan di setiap perwakilan negara masing-masing yang ada di Arab Saudi sebelum tenggat waktu yang telah ditentukan.
Selain tenaga kerja asal Indonesia, banyak pekerja dari negara lain yang mencoba peruntungan mereka di Arab Saudi seperti dari Filipina, Etopia, Yaman, India, Mesir, Bangladesh dan Nepal.
Sebelumnya pemerintah Arab Saudi juga mengumumkan akan melakukan penyisiran, namun tidak akan masuk ke rumah-rumah warga.
"Sebenarnya pemerintah Arab Saudi sudah mengingatkan bahwa mereka hanya menjaring pekerja overstay di tingkat pekerja formal saja bukan di rumah. Tapi ini banyak WNI kita yang justru ikut takut terjaring Razia," ujar Konsul Jenderal RI untuk Jeddah Dharmakirty Syailendra Putra .dalam wawancara khusus dengan Antara.
Menurut Dharma, justru di tingkat kerja non-formal itu banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang illegal.
"Sebenarnya yang dicari oleh pihak imigrasi Arab Saudi adalah mereka yang bekerja di sektor formal, bukan yang di sektor informal, seperti pekerja rumah tangga," tambah Dharma.
Para pekerja domestik asing dan majikan ini ketakutan untuk bayar denda yang besar bahkan juga ada ancaman penjara bagi majikan yang tetap mempekerjakan orang asing secara ilegal.
Kerusuhan kecil di depan KJRI
Pada tanggal 9 Juni 2013, ribuan warga negara Indonesia yang berbondong-bondong mendatangi Konsulat Jenderal RI di Jeddah untuk memperbaiki status tinggal mereka.
Banyak dari warga negara Indonesia yang memperpanjang izin kerja mereka namun ada pula yang mengurus Surat Perjalanan Laksana Pasport (SPLP) mereka untuk bisa kembali ke Indonesia secara mandiri dengan uang sendiri.
Jumlah warga Indonesia yang mengantri pada saat itu mencapai lebih dari 12.000 orang.
Karena keterbatasan loket serta staf pengurusan administrasi imigrasi yang ditambah dengan jumlah warga yang cukup besar di depan KJRI, akhirnya terjadi sebuah kerusuhan skala kecil yang ditandai dengan aksi pembakaran ban di depan kantor perwakilan RI.
Setelah kericuhan kecil tersebut, banyak dari mereka memutuskan untuk berkumpul di kolong jembatan di Jalan Palestine atas arahan polisi setempat untuk menghindari terjadinya kemacetan lalu lintas di depan KJRI Jeddah.
Mayoritas dari mereka yang berkumpul di kolong jembatan tersebut berasal dari luar kota Jeddah, sehingga banyak dari mereka yang memutuskan untuk tinggal di Jeddah sampai proses administrasi imigrasi selesai.
Moratorium pengiriman TKI
Menyikapi banyaknya kasus dari TKI di sektor non-formal, memaksa kedua pihak Kerajaan Arab Saudi dan Republik Indonesia untuk memberlakukan penghentian sementara pengiriman tenaga kerja.
Moratorium tersebut telah diberlakukan sejak Agustus 2011, dan setiap tahunnya, kedua pemerintah menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri untuk membahas masalah "impor" ketenagakerjaan asing ini.
Dharma mengatakan bahwa pertemuan tingkat menteri ini akan terus berlangsung selama jumlah tenaga kerja overstay masih banyak jumlahnya.
"Hingga saat ini berbagai perundingan maupun pembahasan perjanjian kerja sama secara menyeluruh masih berlangsung agar saling menguntungkan kedua pihak," tambah Dharma.
Diskusi mengenai pembukaan kembali moratorium tersebut mencakup persyaratan untuk pengiriman tenaga kerja terampil, minimal gaji, kesejahteraan, tunjangan dan hak libur setiap minggu atau cuti tahunan.
Dharma juga menyampaikan bahwa hingga saat ini ada sekitar 30 ribu WNI yang berpotensi menjadi overstayer.
Mengenai banyaknya jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor non-formal, Dharma mengatakan bahwa pekerja asal Indonesia sangat diminati oleh warga Saudi sendiri.
"Hal itu dikarenakan TK Indonesia kebanyakan memiliki agama yang sama, penampilannya lebih bersih, memiliki loyalitas tinggi kepada majikannya dan mudah diatur, tidak seperti TK dari negara lain," ujar Dharma.
Deportasi
Pihak pemerintah Arab Saudi akan mendeportasi sisa warga Negara Indonesia "overstay" yang berada di rumah detensi imigrasi Tarhil, Shumaysi, jeddah namun harus melalui proses administrasi yang telah ditentukan oleh negara tersebut.
Ada pun proses deportasi yang diterapkan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi yaitu ketika mereka terjaring oleh petugas imigrasi (Jawazad) kemudian dibawa ke rumah detensi (Tarhil) maka dilakukan proses pengambilan sidik jari dan foto atau identifikasi (Basmah).
Setelah menjalani Basmah maka rekam jejak para WNI tersebut selama tinggal di Arab Saudi dapat terlihat, apakah pernah melanggar hukum atau tidak.
Jika terbukti tidak pernah melakukan pelanggaran hukum maka surat ijin meninggalkan negara tersebut (exit permit) dapat segera dikeluarkan untuk mereka dideportasi ke tanah air.
Karena mereka dianggap sebagai penduduk ilegal dan telah dideportasi oleh pemerintah Arab Saudi, maka sanksinya adalah mereka tidak bisa kembali ke negara tersebut minimal 10 tahun kedepan.
Namun jika dalam proses identifikasi mereka terbukti pernah melakukan tindakan melanggar hukum maka harus melalui proses pemeriksaan lebih lanjut yg disebut "Tahqiq".
Proses pemeriksaan merupakan tahapan penyaringan untuk dapat melihat catatan berat atau tidaknya pelanggaran hukum yang pernah dilakukan dan sebelum bisa mendapatkan "exit permit" para "overstayer" harus menyelesaikan segala permasalahan tersebut.
Masalah yang kerap kali menjadi kendala biasanya seperti masalah dengan majikan, pencurian atau denda tilang di jalan raya. Namun untuk kasus yang lebih berat, para overstayer ini harus menjalani hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pihak KJRI Jeddah juga mendukung seluruh proses deportasi para WNI overstayer ini dengan memfasilitasi pembuatan SPLP, Surat Perjalanan Laksana Pasport, bagi mereka yang memang kebanyakan tidak memegang passport.
Dengan banyaknya warga negara Indonesia yang ditempatkan di Tarhil, pihak perwakilan pemerintah RI tidak hanya diam dan terus melakukan pengawasan serta berupaya mempercepat proses pemulangan mereka ke Tanah Air.
Sebagai gambaran, di dalam Tarhil Shumaysi, terdapat 27 blok yang masing-masing blok terdiri atas 75 "Ambar" (asrama) yang berukuran sekitar 10x18 meter yang dipenuhi dengan 36 tempat tidur tingkat untuk 72 orang, dan dilengkapi dengan delapan buah kamar kecil dan dua ruangan untuk berjemur dan ruang makan.
Di dalam Ambar yang juga dilengkapi dengan penyejuk ruangan itu, para penghuninya juga diberikan makan tiga kali sehari dengan menu sesuai kebiasaan makan warga setempat.
Oleh Ageng Wibowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013