New York (ANTARA News) - Album terbaru Bob Dylan "Modern Times", dirilis Selasa, dengan sambutan positif dari para kritikus musik yang menunjukkan legenda musik berusia 65 tahun itu memiliki banyak hal untuk disampaikan mengenai perubahan waktu, sejak album rekaman terakhirnyqa muncul pada 11 September 2001. Namun seperti ciri khasnya, penyanyi bersuara berat era 60-an yang terkenal karena suka mengoceh itu mengungkapkannya dengan cara yang sulit dipahami. Kritikus Tom Moon dari Radio Publik Nasional mengatakan banyak hal telah terjadi sejak album terakhirnya "Love and Theft" diluncurkan pada 11 September 2001, bertepatan dengan serangan teroris ke Washington dan New York, tetapi album terbarunya itu menunjukkan pergulatan Dylan dengan isu berat, "seperti rubah licik yang berbicara dengan berputar-putar atau tidak langsung." "Mereka yang mengharapkan berbagai hal tentang bencana akan merasa kecewa," kata Moon, seperti dilansir Reuters. Dylan hanya melihat sepintas beberapa kejadian sekarang ini, itu saja yang dilakukannya untuk mengingatkan pada ketakutan akan pertambahan umur. Lagu-lagunya menangkap percampuran antara keyakinan yang teguh dan ketakutan tidak berbentuk yang membedakan masa sekarang." Kritikus Steve Jones dalam USA Today memberikan pujian dengan mengatakan,"Hanya butuh 30 detik untuk mengetahui bahwa Anda sedang berada di hadapan kejayaan." Ia mengatakan bahwa album tersebut mengandung "beberapa lirik cinta Dylan yang sangat terus terang, dendam, meditasi mengenai kematian, komentar politis, kebodohan, bayangan kehancuran, dan impian yang membuat kita menggaruk kepala - yang kadang-kadang terdapat pada lagu yang sama. Jon Pareles di The New York Times menyatakan bahkan dalam lagu berjudul "The Levee`s Gonna Break," Dylan malah hanya menggambarkan kehancuran yang disebabkan oleh Badai Katrina di New Orleans pada tahun lalu. Fakta-fakta tentang kejadian belakangan ini semakin kurang diangkat penulis lagu yang secara radikal dan tak pelak lagi telah mengubah musik populer di tahun 60-an itu," tulis Pareles tentang album itu, yang diproduseri sendiri oleh Dylan dengan nama samaran Jack Frost yang kebanyakan lagunya direkam secara langsung di studio. Pat Gilbert menulis di Entertainment Weekly bahwa album baru itu diumumkan sebagai penutup dari trilogi sejak "Time out of Mind" pada 1997 dan "Love and Theft" in 2001 -- "dua rekaman terbaik" setelah periode yang tidak selesai di tahun 90-an. Sepuluh lagu di album itu mulai dari lagu cinta seperti "Spirit in the Water," yang liriknya : "You think I`m overthe hill/ You think I`m past my prime," hingga "Workingman`s Blues#2," sebuah kritik kepada perekonomian AS yang menurut Gilbert seharusnya ditulis oleh Bruce Springteen. Album tersebut diakhiri oleh sebuah lagu balada bercerita tentang kematian, penyesalan dan balas dendam, dengan panjang hampir sembilan menit, dan berjudul "Ain`t Talkin`," dimana ia "berjalan di kota wabah." Seperti dihipnotis Sementara beberapa kritikus meributkan beberapa peristiwa seperti serangan 11 September, tak ada yang jelas mengenai hal itu. Jonathan Lethem dari majalah Rolling Stone menulis bahwa rekaman tersebut dipenuhi oleh "kilatan referensi dari peristiwa dunia seperti serangan 9/11 dan Badai Katrina, meskipun orang yang mencari nilai moral, meminjam pernyataan Mark Twain, seharusnya di tembak." Dylan menjelaskan kepada Lethem dalam suatu wawancara: "Saya tetap membuat album ini, tidak peduli apapun yang sedang terjadi di dunia." "Saya menulis lagu-lagu ini sama sekali tidak direncanakan, tetapi lebih mirip dalam keadaan tidak sadarkan diri, seperti sedang dihipnotis." (*)

Copyright © ANTARA 2006