Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyayangkan pernyataan sejumlah pejabat yang cenderung menyalahkan petani tradisional sebagai pelaku utama pembakaran hutan dan menafikan fakta bahwa justru pelaku bisnislah yang menerima keuntungan paling besar dari "landclearing" dengan cara membakar tersebut. "Walhi melihat sejumlah pernyataan yang dikeluarkan pejabat cenderung menyalahkan peladang tradisional, padahal angka pembukaan kebun dengan cara membakar yang dilakukan oleh masyarakat tidak signifikan," kata Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Walhi, Rully Syumanda, dalam siaran persnya di Jakarta, Selasa. Dari tahun 2001 hingga akhir Agustus 2006 total kawasan yang dibakar atau terbakar di konsesi perkebunan besar atau konsesi izin kehutanaan lainnya mencapai 81,1 persen, katanya. Data Walhi menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia memproduksi lebih 40 ribu hotspot (titik api). Angka ini menurun pada tahun 2005 menjadi 39 ribuan dikarenakan tingginya angka curah hujan pada saat itu. Disebutkan pula lebih dari 80 persen titik api tersebut berada pada konsesi-konsesi perkebunan, HTI dan HPH. Itulah mengapa Walhi merasa berkepentingan untuk mengeluarkan nama-nama perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada tahun 2006 ini. Sebagian kecil dari nama-nama perusahaan tersebut, ujarnya, telah dilakukan groundchek (penelitian di lapangan) untuk memastikan kebenaran informasi yang diterima dari satelit. "Sebagian besar perusahaan tersebut telah melakukan praktek serupa ditahun-tahun sebelumnya dan tidak pernah terjerat dengan hukum," kata Rully Syumanda.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006