Tak mau jadi medioker

Apakah cuma Afrika? Tidak, karena tim-tim kawasan lain juga begitu, termasuk Qatar.

Qatar mengadopsi cara yang unik. Negara ini mengumpulkan bakat-bakat dini sepak bola dari berbagai negara di dalam sebuah akademi sepak bola di Doha yang mereka namai Aspire Academy.

Sepuluh dari total anggota skuad Qatar adalah pemain-pemain berkewarganegaraan asing jebolan akademi itu. Kesepuluhnya mendapatkan "paspor olahraga" untuk membela Qatar, yang memang dibolehkan oleh FIFA.

"Paspor olahraga" juga digunakan Suriname dalam menarik pemain-pemain berdarah Suriname di Belanda, kecuali pemain-pemain super seperti Virgil van Dijk yang pastinya tak akan dilepas Belanda.

Lantas berhasilkah cara ini? Bagi negara seperti Maroko, cara ini ternyata efektif meningkatkan kualitas sepak bola mereka. Buktinya, mereka mencapai semifinal Piala Dunia setelah hanya bisa sampai fase grup dan paling bantar babak 16 besar, dalam empat edisi Piala Dunia sebelumnya yang diikuti negara ini.

Tapi rekrutmen pemain timnas semacam ini adalah upaya dua arah. Ini adalah kemauan pemain dan juga kemauan negara yang hendak menampung pemain itu.

Tapi pemain tidak asal menoleh timnas karena mereka juga melihat kualitas atau setidaknya grafik permainan timnas yang disasarnya. Sebaliknya, negara melihat jejak rekam pemain sebelum memutuskan merekrut pemain itu.

Ini pula yang saat ini ditempuh Indonesia, yang belakangan mendadak menjadi perhatian pemain-pemain keturunan Indonesia yang bermain di liga-liga top Eropa, khususnya Belanda, karena dianggap berpotensi menawarkan tiket tampil dalam Piala Dunia.

Metode rekrutmen timnas seperti ini menguntungkan baik pemain maupun negara asal timnas itu.
 
Pemain Prancis Kylian Mbappe merayakan gol keduanya ke gawang Polandia pada babak 16 besar Piala Dunia 2022 di Al Thumama Stadium, Doha, Qatar, Minggu (4/11/2022). Prancis menyingkirkan Polandia dengan skor akhir 3-1. ANTARA FOTO/REUTERS/Dylan Martinez/rwa.

Dari sisi pemain, mereka bisa merasakan nilai pasarnya naik, sehingga daya tarik mereka di mata liga asal meningkat, apalagi Piala Dunia selalu menjadi medan pemasaran efektif dalam mengenalkan kualitas atlet sepak bola.

Sebaliknya, timnas negara yang hendak diperkuat pemain itu, berkesempatan memperkenalkan potensi dan kekuatan sepak bolanya kepada dunia, termasuk aspek industrialnya, yang salah satunya berpijak pada antusiasme dan fanatisme penggemar sepak bola.

Dalam urusan antusiasme dan fanatisme, sepak bola Indonesia menawarkan peluang ekonomi yang amat besar. Dalam Piala Asia U23 di Qatar saja, penggemar sepak bola Indonesia mendominasi stadion. Bayangkan, jika itu Piala Dunia.

Tapi negara harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa suatu saat nanti pemain-pemain yang masuk jalur rekrutmen lintas negara itu beralih membela tim lain.

Jangan kaget dan mengecam pemain-pemain ini sebagai tidak nasionalistis, karena atlet kadang hanya ingin keluar dari zona nyamannya untuk berada di lingkungan yang lebih baik yang bisa memancing keluarnya kemampuan terbaik mereka.

Ini juga karena atlet besar selalu memburu lingkungan olahraga kompetitif yang bisa membawanya ke ajang-ajang prestisius yang menaikkan harga pasar, kapasitas, dan gengsi sebagai atlet berkualitas tinggi, atau bisa menyempurnakan pencapaian-pencapaiannya.

Baca juga: Mbappe lakoni laga terakhir untuk PSG, Enrique: dia legenda klub
Baca juga: Laga kandang terakhir Mbappe bersama PSG berakhir dengan kekalahan

Copyright © ANTARA 2024