Jakarta (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memberikan kesempatan pada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi terdakwa korupsi, Daan Dimara, untuk menyampaikan klarifikasi atas tindakan terdakwa meninggalkan ruang
(walk out) pengadilan pekan yang lalu.
"Tindakan
walk out saya hendaknya jangan ditanggapi secara apriori. Itu saya lakukan, karena keputusan majelis hakim untuk tidak mengonfrontir Hamid terkesan menggelapkan fakta," kata Daan Dimara dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Khusus Tipikor, di Jakarta, Selasa.
Meski demikian, ia menyatakan, dalam persidangan hari itu siap mendengarkan tuntutan yang akan dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Namun, majelis hakim yang diketuai oleh Gusrizal memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan keterangannya selaku terdakwa.
Pada pokoknya, menurut Daan, ada lima hal yang ingin disampaikannya, yaitu mengenai penerimaan uang Rp12 juta yang diberikan oleh Kepala Biro Keuangan KPU, Hamdani Amin, merupakan bagian dari Tunjangan Hari Raya (THR), dan semua komponen di KPU menerimanya.
Bantahan yang kedua, katanya, adalah uang senilai 30.000 dolar Amerika Serikat (AS) yang diterimanya, dikatakan oleh Hamdani Amin merupakan uang titipan, sehingga sama sekali tidak digunakannya.
"Karena merasa tidak berhak, maka saya kembalikan uang itu pada 7
Oktober 2005 saat pemeriksaan di KPK," kata Daan.
Hal ketiga, menurut Daan, adalah bantahan menerima uang dari PT Royal Standard. Ia juga menyatakan, bertanggung jawab atas pengadaan segel sampul surat suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif, namun tidak bertanggung jawab atas pengadaan segel sampul surat suara pada Pemilihan Presiden (Pilpres) I dan Pilpres II.
Dalam keterangannya, Daan juga menjelaskan, sama sekali tidak
mengetahui proses penetapan harga segel pada Pilpres I dan II, karena proyek sudah berjalan ketika dirinya ditunjuk sebagai ketua panitia.
"Saya hanya ingat saat dipanggil ke ruangan Ketua KPU, ada saudara Hamid dan mengatakan '
meneer Daan, harga segel pilpres sudah oke, jangan diubah, tinggal diawasi saja'," katanya, mengutip pernyataan Anggota KPU, Kamid Awaluddin, yang kini menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Ia juga mengakui, menandatangani dokumen proyek pengadaan segel sampul surat suara Pilpres I dan II seusai kegiatan pemilu.
Ketika ditanyakan oleh majelis hakim, apakah terdakwa menyesal? Daan pun
menyatakan, menyesali kebohongan yang disampaikan oleh Hamid Awaluddin atas kasus tersebut.
"Saya merasa menjadi tumbal bersama-sama dengan Ketua KPU," ujarnya.
Persidangan pada Selasa (29/8) semula menjadwalkan pembacaan tuntutan, namun karena Daan diberi kesempatan untuk memberikan keterangan, maka majelis hakim akhirnya menunda pembacaan tuntutan hingga Rabu (30/8).
"Sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 30 Agustus, pukul 09.00 WIB, dengan agenda pembacaan tuntutan," kata Gusrizal.
Daan Dimara didakwa memperkaya rekanan pengadaan segel surat suara pemilu 2004 senilai Rp3,54 miliar.
JPU menilai, hal tersebut terjadi karena terdakwa selaku ketua pengadaan segel surat suara melakukan penunjukan langsung yang tidak sesuai prosedur.
Daan didakwa melanggar hukum sesuai Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP pada dakwaan pertama primair.
Daan juga didakwa menerima uang 110 ribu dolar AS dari Kepala Biro Keuangan KPU, Hamdani Amin, dan uang tersebut berasal dari rekanan KPU, termasuk PT Royal Standard.
Untuk itu, ia didakwa melanggar hukum sesuai Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006