Surabaya (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendesak Pemerintah RI segera merelokasi warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jatim yang tidak masuk peta terdampak lumpur Lapindo.

Desakan tersebut menyusul temuan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang mengungkapkan ada 200 rumah di Siring Barat rusak karena tanah ambles.

Ketua Tim Pelaksana Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR RI, Priyo Budi Santoso, di Surabaya, Senin, mengatakan semakin banyak alasan penguat untuk relokasi sehingga pemerintah dan para pemangku kepentingan lain sudah tidak bisa menunda lagi.

"Jangan sampai menunggu rumah 200 warga itu benar-benar rusak baru relokasi," kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI ini.

Pernyataan itu menyusul rilis dari BPLS yang mengungkapkan rumah 200 warga RT 04 Desa Siring Barat rusak. Kerusakan itu akibat tanah ambles. Dari 200 rumah itu, 40 di antaranya sudah rusak parah karena tanah ambles hingga satu meter.

Priyo mengatakan, dari APBN 2009 sudah ada dana Rp82 miliar untuk warga Desa Siring dan tiga desa lainnya. Dengan dana itu, seharusnya relokasi sudah bisa dilakukan. "Ini nasib manusia, jangan ditunggu lagi. Kondisi di empat desa itu sudah sangat kritis," katanya.

Ia juga mendesak agar pemerintah secepatnya mengalokasikan dana untuk perbaikan infrastruktur di Porong. Dalam rapat konsultasi dengan DPR pada pertengahan Desember 2008, pengalokasian itu sudah disetujui. "Pemerintah menyatakan dana akan dihitung lebih rinci. Kami mendesak itu segera dialokasikan," katanya.

Sementara mengenai pembayaran sisa ganti rugi 80 persen, salah satu ketua DPP Partai Golkar itu menjelaskan, ada beberapa mekanisme yang telah disepakati antara warga korban lumpur, pemerintah dan Lapindo.

Mekanisme pertama, beberapa warga korban lumpur menyetujui pembayaran sisa ganti rugi dengan cara "resetlement" plus pengembalian uang. "Dapat rumah, kalau uangnya masih lebih, ya, dikembalikan," katanya menjelaskan.

Mekanisme kedua, dibayar "cash" secara bertahap. Di mana setiap bulan Lapindo diwajiibkan membayar Rp30 juta PER berkas ditambah Rp2,5 juta bagi korban yang masa kontrak rumahnya sudah habis. "Yang ini diberi nama tim 16. Ribuan warga korban yang mau pembayaran cara ini," katanya.

Adapun untuk mekanisme ketiga, kata Priyo, ada 41 berkas yang tidak ingin melaksanakan dua mekanisme tersebut. Mereka masih ngotot ingin pembayaran sisa ganti rugi secara "cash and carry". "Tapi yang jelas, semua mekanisme yang mereka sepakati harus dilindungi dan dicarikan jalan keluar," katanya.

Namun politisi asal Trenggalek itu mengakui, ada kesulitan "cash flow" yang dihadapi PT Lapindo Brantas lantaran krisis ekonomi global. Sehingga, Lapindo keberatan membayar ganti rugi dengan mekanisme dicicil Rp30 juta per bulan. Karena itu, dia berharap pemerintah bisa membantu memberikan pinjaman untuk pembayaran itu.

"Lapindo mengaku tersengal-sengal membayar ganti rugi itu, meski dengan cara dicicil. Mestinya pemerintah bisa nalangi dulu, kemudian baru itung-itungan dengan Lapindo. Yang penting jangan sampai warga disia-sia," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009