Jakarta (ANTARA News) - Pembentukan Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dimasukkan dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipersoalkan dalam permohonan uji materiil UU KPK yang diajukan oleh para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam permohonan yang dibacakan oleh kuasa hukum para anggota KPU, Januardi S Haribowo, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa, enam pasal dalam UU KPK dimohon untuk diujimateriil. Di antaranya adalah pasal 1 angka 3 dikaitan dengan pasal 53 UU KPK, yang menyatakan bahwa pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan termasuk penuntutan dan pemeriksaan perkara di pengadilan dan untuk itu, melalui UU KPK dibentuk suatu pengadilan tindak pidana korupsi yang hanya berwenang memeriksa dan memutus tipikor yang penuntutannya diajukan oleh KPK. "Dengan adanya ketentuan pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan pasal 53 UU KPK yang mengatur secara khusus tentang pembentukan pengadilan tipikor, maka kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif telah dicampuradukkan dan digabungkan ke dalam suatu lembaga negara, yakni KPK," tutur Januardi. Ia menyatakan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, maka suatu lembaga pengadilan harus merupakan kekuasaan yang merdeka. Namun, ia menambahkan dengan pembentukan Pengadilan Tipikor berdasarkan UU KPK, telah memberikan makna pengadilan itu tidak lagi independen dan juga bertentangan dengan asas imparsialitas lembaga peradilan. "Berdasarkan ketentuan pasal 53 UU KPK itu, maka pengadilan tipikor adalah satu kesatuan atau lebih tepatnya merupakan bagian dari KPK," ujar Januardi. Dengan demikian, lanjut dia, dapat dipastikan pengadilan tipikor tidak akan dapat memeriksa dan memutus perkara secara adil dan hanya bertindak sebagai lembaga penghukuman yang melakukan apa yang diminta atau diperintahkan KPK. "Pada akhirnya, yang terjadi adalah setiap orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, otomatis sudah menjadi terdakwa di pengadilan tipikor dan pada akhirnya juga secara otomatis jadi terpidana," papar Januardi. Ia mencontohkan pengalaman beberapa pemohon, di antaranya Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dan Anggota KPU Daan Dimara serta Rusadi Kantaprawira selama menjalani proses pemeriksaan di pengadilan tipikor. Januardi mengatakan majelis hakim pengadilan tipikor dalam bersikap dan melakukan pemeriksaan perkara justru bertindak layaknya penuntut umum. "Yang paling ironis adalah terdapat banyak kesamaan antara apa yang disebutkan dalam dakwaan dan tuntutan penuntut umum dengan apa yang terdapat dalam putusan majelis hakim," katanya. Januardi membandingkan pembentukan pengadilan tipikor yang melalui UU KPK, padahal pengadilan lain seperti pengadilan anak, pengadilan hak asasi manusia dan pengadilan perikanan memiliki UU sendiri. Ia meminta agar MK menyatakan pasal 1 angka 3 dan pasal 53 UU KPK bertentangan dengan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Enam anggota KPU dan tiga staf KPU secara "berjamaah" mengajukan permohonan uji materiil UU KPK ke MK. Sebagian dari mereka telah berstatus terdakwa atau terpidana kasus korupsi di KPU yang ditangani KPK, di antaranya Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin, Kepala Biro Keuangan Hamdani Amin dan Sekjen KPU Safder Yusacc. Anggota KPU yang berada di luar bui seperti Chusnul Mar`iyah dan Valina Singka Subekti juga tidak ketinggalan menjadi pemohon uji materiil UU KPK. Selain mempersoalkan indepedensi pengadilan tipikor, mereka juga mengajukan uji materiil pasal 11 huruf b yang menyatakan KPK berwenang menangani perkara tipikor yang meresahkan masyarakat, karena mereka menganggap tidak ada ukuran yang jelas untuk kategori meresahkan itu. Para anggota KPU juga meminta uji materiil pasal 12 ayat 1 huruf a UU KPK soal kewenangan KPK untuk sekaligus menyelidiki, menyidik dan menuntut perkara tipikor serta pasal 40 UU KPK soal KPK yang tidak boleh mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Majelis hakim konstitusi yang diketuai I Dewa Palguna meminta kepada kuasa hukum para anggota KPU untuk memperbaiki permohonannya, terutama untuk memberikan alasan konstitusional yang berbeda dalam permohonan uji materiil pasal dalam UU KPK yang telah diputuskan oleh MK. Majelis hakim juga meminta agar pemohon yang memiliki status hukum berbeda dalam kasus korupsi di KPU, juga membedakan kedudukan hukum serta alasan konstitusional mereka dalam permohonannya. (*)
Copyright © ANTARA 2006