Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Akar Foundation Erwin Basrin mengemukakan bahwa perubahan iklim dan kasus stunting saling berkaitan, akibat produksi pangan yang juga ikut menurun hingga 44 persen.

"Jadi, yang ditanam petani bukan tanaman pangan, tetapi komoditas untuk pasar. Di bagian timur Bengkulu misalnya, mereka menanam kopi. Lalu, di utara Bengkulu, mereka tanam sawit. Aktivitas yang tadinya harusnya memproduksi pangan, tidak terjadi. Ini disebut dengan fenomena hidden hunger (kelaparan tersembunyi)," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.

Ia menyampaikan hal tersebut saat menghadiri Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) dan Percepatan Penurunan Stunting bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Provinsi Bengkulu pada Rabu (8/5).

Ia mengatakan berdasarkan riset Asian Development Bank (ADB), perubahan iklim mengakibatkan produksi pangan turun hingga 44 persen, dan dari prediksi tersebut, diperkirakan pada 2045 ada 19 juta orang Indonesia kelaparan akibat penurunan sumber pangan, sehingga berpotensi membebani upaya pemerintah menggapai Indonesia Emas 2045.

Akar Foundation juga menemukan fakta bahwa pada 2018, masyarakat yang mendapatkan lahan di Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang, Bengkulu, mengalami situasi kelaparan tersembunyi yang memunculkan kasus stunting.

Baca juga: Menkes apresiasi kontribusi Apindo turunkan angka stunting di 3 daerah

Sebagai solusi, Akar Foundation menawarkan model-model penyediaan pangan lokal yang nantinya dibagikan bagi para keluarga berisiko stunting.

"Nah, yang coba kita bikin model kecil, baik di Kepahiang dan Rejang Lebong untuk membikin demplot pangan. Hasilnya dibagikan kepada keluarga-keluarga yang berpotensi stunting, dan kami tawarkan untuk mereplikasi model yang kami buat ini sebagai satu cara menekan angka stunting secara lebih besar," ucapnya.

Dengan begitu, kata dia, prediksi Asian Development Bank bahwa Indonesia akan kelaparan pada 2045 bisa ditepis.

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan orang yang stunting berpotensi memiliki penghasilan 22 persen lebih rendah dari orang normal.

"Pendapatan orang yang stunting selisih 22 persen dibandingkan orang yang tidak stunting. Oleh karena itu, bagaimana bisa menanggung orang tuanya kalau anaknya saja stunting. Ini jadi masalah," katanya.

Menurutnya, kasus stunting dapat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan pendapatan per kapita daerah, utamanya dalam menghadapi bonus demografi yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, sehingga sekolah dan perusahaan perlu lebih banyak berkolaborasi membuat program penurunan stunting.

Baca juga: BKKBN: Orang stunting berpotensi berpenghasilan 22 persen lebih rendah
Baca juga: Kemenkes ungkap alasan angka stunting Indonesia baru turun 0,1 persen

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024