Ada nasionalisme jarak jauh yang terbentuk sebagai bentuk kesetian terhadap Indonesia...
Mereka pergi untuk menuntut ilmu, agar suatu saat ketika kembali bisa ikut membangun Indonesia. Mereka pergi untuk bertugas menjadi duta, menjaga nama Indonesia di kancah dunia.

Namun pergolakan politik di tanah air pada periode 1965-1966 membuat mereka yang sedang belajar sebagai mahasiswa ikatan dinas (Mahid), yang sedang bertugas sebagai diplomat, yang menjadi wakil organisasi regional atau internasional, atau sedang menghadiri undangan pemerintah China tidak bisa kembali lagi ke Tanah Air.

Mereka bahkan harus kehilangan kewarganegaraan.

Paspor mereka dicabut oleh Pemerintahan Orde Baru karena tidak mau menandatangani dokumen pernyataan kesetiaan kepada pemerintahan baru dan menyetujui bahwa Gerakan 30 September (G30S) didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sejak saat itu mereka menjadi kaum eksil, kaum kiri yang terbuang dari negeri sendiri.

Tidak ada data jelas berapa jumlah pasti mereka. Ada yang menyebut 2.000 orang ada di Eropa Timur dan kemudian mencari suaka ke Eropa Barat dan negara Skandinavia, puluhan berada di China, beberapa di Vietnam, Kuba, dan Myanmar.

Namun yang jelas, menurut peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI Amin Mudzakkir, jumlah mereka kini semakin berkurang karena sudah banyak yang tutup usia.

Amin menjelaskan, penelitian terhadap beberapa kaum eksil di Belanda menunjukkan beberapa fakta menarik, antara lain tentang kesetiaan kaum yang terbuang itu tetap mempertahankan nasionalisme dengan memegang komitmen pada Indonesia.

"Ada nasionalisme jarak jauh yang terbentuk sebagai bentuk kesetian terhadap Indonesia, meski mereka sudah bukan warga negara Indonesia," ujar dia.

Banyak dari mereka, menurut Amin, baru dapat kembali ke Tanah Air saat usia sudah senja.

Sebagian hanya kembali untuk berlibur, melepas rindu dengan keluarga yang masih tersisa. Ada pula yang kembali supaya bisa dimakamkan di tanah kelahiran.

"Ada juga salah satu eksil dari Medan yang ketika meninggalkan Indonesia istrinya sedang hamil tujuh bulan. Baru tahun 1994 mereka bisa bertemu lagi, meski saat itu masing-masing mereka sudah mempunyai keluarga baru," kata Amin.

Menurut Amin para eksil masih merasa takut dicap komunis oleh masyarakat meski sebenarnya tidak semua dari mereka berafiliasi dengan PKI.

Ada pula yang merasa sudah terlalu renta untuk dapat beradaptasi lagi dengan kondisi lingkungan dan cuaca di Tanah Air karena sudah terlalu lama hidup di negara empat musim.

"Alasan lain mereka di sana hidup lebih terjamin dengan berbagai jaminan sosial," ujar dia.

Meski demikian hati, pikiran, dan keseharian mereka tidak pernah begitu jauh dari Indonesia.

"Contohnya Pak Sarmadji Sutiyo yang membangun perpustakaan Perhimpunan Dokumentasi Indonesia (Perdoi) di rumahnya. Pak Djoemaeni (Kartaprawira) membentuk Lembaga Pembela Korban (LPK) 1965, dan Dokter Melly (Siaw) membantu beberapa pekerja Indonesia yang tidak terdokumentasi mendapat layanan kesehatan," jelas Amin.

Kaum eksil dan keturunannya yang tinggal di Belanda, tidak pernah putus silaturahmi.

Mereka secara rutin menggelar pertemuan bahkan bersama mahasiswa atau warga negara Indonesia yang kebetulan tinggal di Belanda, dan membuat kelompok diskusi membahas isu-isu terkini tentang Indonesia.

Mereka pun cepat menggalang dana jika terjadi musibah bencana alam di Tanah Air, ujar Amin.


Orang-orang yang terjebak


Jika almarhum KH Abdurrahman Wahid menyebut para eksil ini sebagai kaum "kelayapan", sejarawan Universitas Sanata Darma, Romo Baskara T Wardaya menyebut mereka sebagai "survivor".

Orang-orang yang "terjebak" di negara-negara sosialis di Eropa Timur, China, Kuba, Vietnam, Myanmar ketika Tragedi '65 terjadi tidak bisa banyak mengakses informasi pada masa itu.

Mereka hanya bisa memperoleh informasi yang sangat terbatas dari siaran radio, yang berita-beritanya seringkali tidak cukup menggambarkan kondisi sesungguhnya di Tanah Air.

Baskara mengatakan runtuhnya pemerintahan komunis di Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur menambah kesulitan hidup kaum eksil Indonesia.

Mereka merasa ada tekanan dan perlakuan umum yang semakin tidak bersahabat sehingga akhirnya banyak yang memutuskan pindah ke Eropa Barat.

"Mereka banyak memilih Belanda meski menyadari negara ini dulu justru yang menjajah lama Indonesia. Tapi itu pilihan rasional bagi mereka karena ada banyak jaringan pertemanan dengan orang Indonesia yang tinggal di sana," ujar Baskara.

Namun tidak semua kaum eksil selamat dari rangkaian penderitaan fisik maupun psikologis.

Dosen Universitas Sanata Darma itu mengatakan, ada ribuan kaum eksil lain yang tidak mampu bertahan hidup dalam derita dan sudah lebih dulu sakit atau meninggal dunia karena beratnya hidup sendiri di negeri-negeri asing.

Bagi mereka yang masih bisa bertahan, peristiwa yang telah lama berlalu itu sangat berharga untuk dilupakan. Mereka tak ingin lembaran sejarah gelap itu hilang dan terlupakan.

Sarmadji Sutiyo, salah seorang eksil yang membangun perpustakaan Perhimpunan Dokumentasi Indonesia di Belanda, terus berupaya mengumpulkan dokumen-dokumen tentang sejarah kelam Indonesia itu.

Menurut Amin, beberapa eksil lain secara sukarela membantu mengumpulkan atau menyerahkan dokumen atau buku-buku penting tentang peristiwa politik 1965-1966 di Indonesia untuk melengkapi koleksi Perdoi.

Romo Baskara berharap LIPI melanjutkan penelitian tentang kaum eksil yang tersisa di negara-negara lain seperti Prancis dan Swedia.

Menurut dia, sangat penting mempublikasikan fakta-fakta sejarah tersebut untuk melengkapi catatan sejarah "resmi" yang cenderung memojokkan satu pihak dan mempahlawankan pihak lain.

Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013