Komisi VIII DPR RI sudah merumuskan langkah-langkah terkait hal itu dengan Menteri Agama untuk mendorong adanya `payung hukum` yang segera dibicarakan dengan kementerian terkait dan penegak hukum, termasuk KPK,"
Surabaya (ANTARA News) - Ketua Presidium Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama se-Jawa Timur mengatakan Komisi VIII DPR RI sudah menyetujui adanya "payung hukum" untuk pelayanan KUA di luar kantor dan atau selepas jam kerja.
"Komisi VIII DPR RI sudah merumuskan langkah-langkah terkait hal itu dengan Menteri Agama untuk mendorong adanya payung hukum yang segera dibicarakan dengan kementerian terkait dan penegak hukum, termasuk KPK," kata Ketua Presidium Forum Komunikasi Kepala Kantor Urusan Agama (FKK KUA) se-Jawa Timur Drs H Samsu Thohari M.HI dalam "Forum Tabayyun ISNU Jatim" di Surabaya, Minggu.
Dalam forum "tabayyun" (klarifikasi) yang juga menampilkan peneliti Keislaman dan Kemasyarakatan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya Dr Mashum Nur Muallim itu, ia mengklarifikasi aksi KUA se-Jatim terkait tuduhan gratifikasi kepada Kepala KUA Kediri.
"Aksi Kepala KUA se-Jatim itu bukan berarti kami melegalkan korupsi di lingkungan KUA. Kami ingin mendesak perlunya payung hukum untuk mendukung kinerja petugas KUA se-Indonesia, sebab biaya nikah yang hanya Rp30 ribu itu jelas tidak cukup," katanya.
Ia menilai biaya sebesar itu jelas tidak cukup untuk mendukung "pelayanan" petugas pencatat nikah (PPN) yang bekerja tujuh hari dalam 24 jam. "Apalagi kalau di kepulauan, bisa jadi PPN tidak bisa bekerja, karena biaya transportasi saja bisa ratusan ribu," katanya.
Oleh karena itu, katanya, payung hukum untuk mendukung kinerja PPN itu harus ada agar PPN tidak dipersalahkan menerima gratifikasi. "Mungkin saja seperti tunjangan petugas pengadilan agama," katanya dalam forum yang juga dihadiri PPN dari Jombang dan Surabaya itu.
Ia mencontohkan petugas/hakim pengadilan agama yang juga memiliki tunjangan di luar gaji. "Jadi, dana Rp30 ribu untuk PPN itu sekadar biaya pencatatan nikah, namun keperluan lain-lain seperti transportasi, kerja lembur, dan tunjangan lain juga ada," katanya.
Selain itu, nilai dari tunjangan tersebut juga tidak harus dihitung oleh pemerintah pusat, namun berdasarkan perhitungan pemerintah daerah yang diusulkan kepada pemerintah pusat untuk dilakukan penetapan.
"Kalau disamakan ya nggak bisa, karena biaya transportasi di Jakarta dan Jatim itu beda, apalagi biaya transportasi di kepulauan," katanya dalam forum yang juga dihadiri Wakil Ketua ISNU Jatim Imam Syafii dan Sekretaris ISNU Jatim Dawud.
Dalam kesempatan itu, ia menyebutkan empat butir kesepakatan Komisi VIII DPR RI dan Menag di Gedung DPR RI, Jakarta, 12 Desember 2013, yakni melakukan pembicaraan mengenai pengalokasian anggaran dengan Menteri Keuangan dan Menteri PPN/Kepala Bappenas.
Selain itu, melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK; Kementerian Agama mengusulkan kepada KPK untuk menetapkan batasan maksimal pemberian imbalan pelayanan nikah di luar kantor; dan melakukan sosialisasi kebijakan pelayanan nikah oleh KUA di luar kantor.
"Bentuk payung hukum itu dalam waktu dekat bisa berupa PP (peraturan pemerintah), tapi ke depan harus berbentuk UU (undang - undang). Jadi, kasus yang terjadi saat ini bukan kesalahan PPN, melainkan kesalahan regulasi yang tidak faktual," katanya dalam forum yang juga dihadiri pengurus NU Jatim, M Qoderi.
Senada dengan itu, peneliti Keislaman dan Kemasyarakatan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya Dr Mashum Nur Muallim mengatakan PPN tidak dapat disalahkan, karena mereka hanya merespons tradisi masyarakat.
"PPN itu kan tidak hidup di negara kapitalis dan individualis, tapi mereka hidup di tengah masyarakat sosial. Apalagi masyarakat Jawa yang untuk menikah saja punya musim yang dinilai baik. Karena itu peraturan yang justru harus mengakomodasi adat," katanya.
Informasi dari sumber lain menyebutkan kasus Kepala KUA Kediri itu bukan semata-mata menerima biaya melebihi ketentuan yang diatur secara prosedural, namun yang bersangkutan sudah mematok biaya secara sepihak. (*)
Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013